Para ahli Antropologi dan Sosiologi
meyakini bahwa masyarakat Jawa terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan
kepercayaan dan amal agamanya. Beberapa ahli mencoba merumuskan pembagian
keompok itu, yang paling terkenal adalah kategorisasi yang dibuat Geertz. Ia
mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Santri, yakni golongan masyarakat
Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala
kewajiban, semacam Shalat, Zakat, Puasa, dan meninggalkan segala keharaman,
tidak makan babi, tidak membuat sesajen, dan sebagainya.
2. Abangan, yakni golongan masyarakat
Jawa yang beragama Islam namu kurang memegang teguh syariat Islam. Mereka yang
tergolong dalam kategori ini tidak shalat, puasa, dan sebagainya. Masih
mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen, grebegan, dan lainnya.
3. Priyayi, yakni golongan masyarakat
Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi
yang dimuliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepasa dari sikap
dan cara keberagamaan mereka.
Sementara itu, dalam pengelompokan yang
dikemukakan Deliar Noer dan Zaini Muchtarom, hanya ada dua kelompok, yakni
santri dan abangan saja.
Dalam membangun dasar pemahaman tentang
kepercayaan dan keagamaan kelompok abangan, rasanya kita perlu menempatkan
agama-agama yang mempengaruhi orang Jawa berdasarkan lintasan zaman. Setelah
zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis.[1]
Teori
Bagi Taylor Agama merupakan
keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual, definisi ini dapat diterima dan
memiliki kelebihan sendiri, karena sederhana, eksplisit, dan memiliki cakupan
yang luas. Walaupun kita dapat menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap
agama, namun salah satu karakteristik yang dimiliki setiap agama adalah
keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berprilaku dan berperasaan seperti
manusia. Esensi setiap agama, seperti halnya mitologi adalah animisme (berasal
dari bahasa latin anima yang berarti roh). Animisme adalah bentuk pemikiran
manusia yang paling tua, yang dapat ditemukan dalam setiap sejarah manusia.
Namun, menurut Taylor kepercayaan seperti ini tidak bisa diterima, karena hal
tersebut hanyalah bersifat pribadi dan tidak bisa dibuktikan secara alamiah.
Menurutnya penalaran masyarakat primitif yang mengadopsi kepercayaan ini masih
infantilitas (kanak-kanak) kemudian menemukan bentuk kepercayaan religiusnya
yang pertama. Seperti mitos-mitos mereka, pengajaran agama muncul dari usaha
yang rasional untuk menjelaskan cara kerja alam. Dan dari perspektif ini semua
sudah jelas, bahwa sebagai mana roh menggerakkan seorang manusia, maka spirit
pun telah menggerakkan alam semesta.
Taylor beragumen bahwa arti penting
teori animistik ini ketika menjelaskan masyarakat primitif akan terlihat dari
varian-varian kepercayaan dan adat istiadat purba yang bisa dijelaskannya.
Dalam terminologi animistik, semua ajaran ini bisa dipahami sebagai proses
berlanjutnya kehidupan jiwa sesudah kematian. Namun, setelah melakukan
penelitian lebih lanjut Taylor berpesan, kepercayaan anismitik ini nanti akan
megalami stagnasi, karena bagaimanapun juga teori-teori tentang animistik akan
disingkirkan dalam kehidupan sehari-hari oleh perkembangan intelektual. Karena
animism hanyalah usaha masyarakat kuno untuk memahami dan merespon misteri dan
peristiwa yang luar biasa memiliki kesamaan dengan sains pada zaman sekarang. Dia
menambahkan walaupun agama sama kunonya dengan sains, namun agama lebih
primitif dan kemampuannya memberikan penjelasan kalah jauh dibandingkan sains.[2]
Bagi Taylor, kepercayaan terhadap
kekuatan spiritual meprensentasikan satu tahapan alami dalam evolusi pemikiran
manusia, namun bukanlah tahapan akhir, karena masih ada tahapan lain yang lebih
rasional dalam merespon alam, yaitu program dan metode ilmu-ilmu empiris yang
mulai muncul saat ini.[3]
Pembahasan
Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa pada
abad pertama Masehi. Tetapi Hindu sebagai sebuah peradaban baru mencapai
kemajuan di Jawa pada abad kelima. Kerajaan Jawa yang bercorak Hindu mulai
muncul sejak abad kedelapan hingga awal abad keenam belas dan dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian: Kerajaan di Jawa Tengah dan Kerajaan di Jawa
Timur.
Hinduisme yang masuk ke Jawa tergolong sebagai aliran Hindu-Syvaisme (pemuja Syiwa). Menurut Muchtarom, ada beberapa bukti bahwa Buddhisme pun masuk ke Jawa pada beberapa dasawarsa terakhir abad ketujuh. Budha yang masuk ke Jawa ketika itu ialah aliran Mahayana, sementara sebelum itu aliran Budha-Hinayana telah masuk dan bercokol Sumatera.
Sejak pertengahan abad kesepuluh hingga pertengahan abad kelima belas, kebudayaan Hindu berkembang pesat di Jawa. Ini merupakan bukti bahwa Hinduisme dan Buddhisme yang masuk ke Jawa melalui para pedagang India diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu.
Hinduisme yang masuk ke Jawa tergolong sebagai aliran Hindu-Syvaisme (pemuja Syiwa). Menurut Muchtarom, ada beberapa bukti bahwa Buddhisme pun masuk ke Jawa pada beberapa dasawarsa terakhir abad ketujuh. Budha yang masuk ke Jawa ketika itu ialah aliran Mahayana, sementara sebelum itu aliran Budha-Hinayana telah masuk dan bercokol Sumatera.
Sejak pertengahan abad kesepuluh hingga pertengahan abad kelima belas, kebudayaan Hindu berkembang pesat di Jawa. Ini merupakan bukti bahwa Hinduisme dan Buddhisme yang masuk ke Jawa melalui para pedagang India diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu.
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia
gaib (dunia yang tak nampak), didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan
dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian yang
mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan demikian:
segala sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tumbuhan, apakah besar atau
kecil, mempunyai nyawanya sendiri. Kepercayaan religius ini merupakan campuran
khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis juga agama Hinduisme yang
semuanya telah ditambah dengan ajaran Islam. Roh-roh yang disembah oleh orang
Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang
berarti ‘tuhan’. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan Hyang
Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Shalat sehari-hari disebut sembahyang
dalam bahasa Jawa. Kata ini berasal dari kata sembah yang berarti ‘penyembahan’
dan yang yang
artinya ‘tuhan’. Tak seorangpun dapat menghitung jumlah para yang.
Di antaranya terdapat danyang desa (roh pelindung desa).
Orang Jawa menganggap bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung sendiri yang
tinggal dalam sebatang pohon yang rindang. Penduduk membayangkan bahwa roh-roh
itu sudah tinggal di tempat tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk
pembangunan desa yang bersangkutan. Banyak orang desa yang ingin mendapat
berkah atau minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan saji-sajian
berupa kemenyan dan bunga ke tempat sajian pohon besar tersebut serta
mengemukakan kesulitannya dan kebutuhannya akan perlindungan kepada danyang
desa. Dalam bahasa Jawa puja itu disebut donga yang berasal dari kata bahasa
Arab du’a.
Donga itu terdiri atas rumus-rumus bahasa Arab yang dinamakan donga
slamet (doa keselamatan). Bukan hanya desa yang ada danyangnya
melainkan juga sawah, pasar, gedung-gedung besar dan sebagainya. Tempat-tempat
yang dikuasai oleh danyang dan tidak dapat dihuni atau dimasuki oleh
manusia disebut angker dalam bahsa jawa yang
artinya tidak dapat didekati.
Hinduisme dan Islam telah
menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa.
Selain danyang orang Jawa percaya kepada dewa dan kepada widadari
(bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin)
kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam
Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam
dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan,
penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang
semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok
dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini
merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan
persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan
itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang
jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan
Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat
pedesaan. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun
yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh
berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan.
Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti idak
terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa
bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar
jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang
memiskinkan atau menjadikan dia sakit.
Slametan semacam ini bagi para
abangan melambangkan keharusan kerja sama dan ikatan sosial. Di samping
slametan untuk kesempatan khusus, setiap tahun penduduk desa mengadakan kenduri
bagi roh pelindung yang terkenal sebagai sedekah bumi. Ini dirayakan di luar
rumah, di bawah pohon atau di sawah di bawah tarub (tenda). untuk kenduri
upacara ini seekor kerbau disembelih dan kepalanya, tulang, dan tubuhnya
dipendam pada tempat itu juga.
Kebiasaan menyembah arwah orang mati
terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa
semula, memainkan peranan yang penting secara religius di antara kaum abangan.
Yang sama pentingnya ialah penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang
disebut keramat. Kata ini berasal dari kata bahasa Arab karamah yang berarti
mulia. Banyak kuburan ‘orang suci’ di Jawa yang dianggap keramat, seperti makam
para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berziarah ke makam-makam
tersebut untuk mendapat berkah. Penghormatan kepada orang mati diungkapkan
dengan jalan membersihkan kuburan dan sebagian dengan mengadakan kenduri yang oleh
orang Jawa dipandang sajian kepada atau sajian untuk orang yang meninggal itu.
Kalau niat kita berziarah ke kuburan itu adalah untuk mengingat mati atau untuk
mendoakan dan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal
itu, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Akan tetapi kalau meminta-minta
kepada arwah orang yang sudah mati atau bahkan menyembahnya maka kita akan
jatuh ke lembah syirik yang merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni
Allah.[4]
Simpulan
Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh
halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa. Selain danyang orang Jawa
percaya kepada dewa dan kepada widadari
(bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin)
kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam
Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam
dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan,
penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang semuanya
berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam
agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini
merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan
persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan
itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang
jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan
Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat
pedesaan.
Jika seseorang ingin merayakan atau
mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan
atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana,
maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet
(selamat) dalam arti idak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib.
Dalam slametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan,
melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau
menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit.
Jadi, golongan abangan masih
mengadakan ritual kepada roh leluhur dengan berbagi macam tujuan. Baik untuk
menghindarkan diri dari musibah, syukuran ataupun ketika mendapatkan musibah
sekalipun. Berarti dapat dikatakan bahwa masyarakata abangan menurut Tylor
berkepercayaan animism.
Rujuakan
Daniel
L. Pals. seven theories of religion. Qalam. Cet. Pertama, 2001.
Yogyakarta.
http://kejawen-religion.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jawa_2391.html