PopAds

Monday 9 November 2015

KEPERCAYAAN ABANGAN DALAM MASYRAKAT JAWA “PENDEKATAAN TYLOR”



Para ahli Antropologi dan Sosiologi meyakini bahwa masyarakat Jawa terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kepercayaan dan amal agamanya. Beberapa ahli mencoba merumuskan pembagian keompok itu, yang paling terkenal adalah kategorisasi yang dibuat Geertz. Ia mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Santri, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam Shalat, Zakat, Puasa, dan meninggalkan segala keharaman, tidak makan babi, tidak membuat sesajen, dan sebagainya.
2. Abangan, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namu kurang memegang teguh syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak shalat, puasa, dan sebagainya. Masih mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen, grebegan, dan lainnya.
3. Priyayi, yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepasa dari sikap dan cara keberagamaan mereka.
Sementara itu, dalam pengelompokan yang dikemukakan Deliar Noer dan Zaini Muchtarom, hanya ada dua kelompok, yakni santri dan abangan saja.
 Dalam membangun dasar pemahaman tentang kepercayaan dan keagamaan kelompok abangan, rasanya kita perlu menempatkan agama-agama yang mempengaruhi orang Jawa berdasarkan lintasan zaman. Setelah zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis.[1]
Teori
Bagi Taylor Agama merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual, definisi ini dapat diterima dan memiliki kelebihan sendiri, karena sederhana, eksplisit, dan memiliki cakupan yang luas. Walaupun kita dapat menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun salah satu karakteristik yang dimiliki setiap agama adalah keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berprilaku dan berperasaan seperti manusia. Esensi setiap agama, seperti halnya mitologi adalah animisme (berasal dari bahasa latin anima yang berarti roh). Animisme adalah bentuk pemikiran manusia yang paling tua, yang dapat ditemukan dalam setiap sejarah manusia. Namun, menurut Taylor kepercayaan seperti ini tidak bisa diterima, karena hal tersebut hanyalah bersifat pribadi dan tidak bisa dibuktikan secara alamiah. Menurutnya penalaran masyarakat primitif yang mengadopsi kepercayaan ini masih infantilitas (kanak-kanak) kemudian menemukan bentuk kepercayaan religiusnya yang pertama. Seperti mitos-mitos mereka, pengajaran agama muncul dari usaha yang rasional untuk menjelaskan cara kerja alam. Dan dari perspektif ini semua sudah jelas, bahwa sebagai mana roh menggerakkan seorang manusia, maka spirit pun telah menggerakkan alam semesta.
Taylor beragumen bahwa arti penting teori animistik ini ketika menjelaskan masyarakat primitif akan terlihat dari varian-varian kepercayaan dan adat istiadat purba yang bisa dijelaskannya. Dalam terminologi animistik, semua ajaran ini bisa dipahami sebagai proses berlanjutnya kehidupan jiwa sesudah kematian. Namun, setelah melakukan penelitian lebih lanjut Taylor berpesan, kepercayaan anismitik ini nanti akan megalami stagnasi, karena bagaimanapun juga teori-teori tentang animistik akan disingkirkan dalam kehidupan sehari-hari oleh perkembangan intelektual. Karena animism hanyalah usaha masyarakat kuno untuk memahami dan merespon misteri dan peristiwa yang luar biasa memiliki kesamaan dengan sains pada zaman sekarang. Dia menambahkan walaupun agama sama kunonya dengan sains, namun agama lebih primitif dan kemampuannya memberikan penjelasan kalah jauh dibandingkan sains.[2]
Bagi Taylor, kepercayaan terhadap kekuatan spiritual meprensentasikan satu tahapan alami dalam evolusi pemikiran manusia, namun bukanlah tahapan akhir, karena masih ada tahapan lain yang lebih rasional dalam merespon alam, yaitu program dan metode ilmu-ilmu empiris yang mulai muncul saat ini.[3]
Pembahasan
Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa pada abad pertama Masehi. Tetapi Hindu sebagai sebuah peradaban baru mencapai kemajuan di Jawa pada abad kelima. Kerajaan Jawa yang bercorak Hindu mulai muncul sejak abad kedelapan hingga awal abad keenam belas dan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: Kerajaan di Jawa Tengah dan Kerajaan di Jawa Timur.
Hinduisme yang masuk ke Jawa tergolong sebagai aliran Hindu-Syvaisme (pemuja Syiwa). Menurut Muchtarom, ada beberapa bukti bahwa Buddhisme pun masuk ke Jawa pada beberapa dasawarsa terakhir abad ketujuh. Budha yang masuk ke Jawa ketika itu ialah aliran Mahayana, sementara sebelum itu aliran Budha-Hinayana telah masuk dan bercokol Sumatera.
Sejak pertengahan abad kesepuluh hingga pertengahan abad kelima belas, kebudayaan Hindu berkembang pesat di Jawa. Ini merupakan bukti bahwa Hinduisme dan Buddhisme yang masuk ke Jawa melalui para pedagang India diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu.
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia gaib (dunia yang tak nampak), didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian yang mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan demikian: segala sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tumbuhan, apakah besar atau kecil, mempunyai nyawanya sendiri. Kepercayaan religius ini merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis juga agama Hinduisme yang semuanya telah ditambah dengan ajaran Islam. Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti ‘tuhan’. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Shalat sehari-hari disebut sembahyang dalam bahasa Jawa. Kata ini berasal dari kata sembah yang berarti ‘penyembahan’ dan yang yang artinya ‘tuhan’. Tak seorangpun dapat menghitung jumlah para yang. Di antaranya terdapat danyang desa (roh pelindung desa). Orang Jawa menganggap bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung sendiri yang tinggal dalam sebatang pohon yang rindang. Penduduk membayangkan bahwa roh-roh itu sudah tinggal di tempat tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk pembangunan desa yang bersangkutan. Banyak orang desa yang ingin mendapat berkah atau minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan saji-sajian berupa kemenyan dan bunga ke tempat sajian pohon besar tersebut serta mengemukakan kesulitannya dan kebutuhannya akan perlindungan kepada danyang desa. Dalam bahasa Jawa puja itu disebut donga yang berasal dari kata bahasa Arab du’a. Donga itu terdiri atas rumus-rumus bahasa Arab yang dinamakan donga slamet (doa keselamatan). Bukan hanya desa yang ada danyangnya melainkan juga sawah, pasar, gedung-gedung besar dan sebagainya. Tempat-tempat yang dikuasai oleh danyang dan tidak dapat dihuni atau dimasuki oleh manusia disebut angker dalam bahsa jawa yang artinya tidak dapat didekati.
Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa. Selain danyang orang Jawa percaya kepada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin) kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti idak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit.
Slametan semacam ini bagi para abangan melambangkan keharusan kerja sama dan ikatan sosial. Di samping slametan untuk kesempatan khusus, setiap tahun penduduk desa mengadakan kenduri bagi roh pelindung yang terkenal sebagai sedekah bumi. Ini dirayakan di luar rumah, di bawah pohon atau di sawah di bawah tarub (tenda). untuk kenduri upacara ini seekor kerbau disembelih dan kepalanya, tulang, dan tubuhnya dipendam pada tempat itu juga.
Kebiasaan menyembah arwah orang mati terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang penting secara religius di antara kaum abangan. Yang sama pentingnya ialah penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut keramat. Kata ini berasal dari kata bahasa Arab karamah yang berarti mulia. Banyak kuburan ‘orang suci’ di Jawa yang dianggap keramat, seperti makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berziarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah. Penghormatan kepada orang mati diungkapkan dengan jalan membersihkan kuburan dan sebagian dengan mengadakan kenduri yang oleh orang Jawa dipandang sajian kepada atau sajian untuk orang yang meninggal itu. Kalau niat kita berziarah ke kuburan itu adalah untuk mengingat mati atau untuk mendoakan dan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal itu, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Akan tetapi kalau meminta-minta kepada arwah orang yang sudah mati atau bahkan menyembahnya maka kita akan jatuh ke lembah syirik yang merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni Allah.[4]
Simpulan
Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa. Selain danyang orang Jawa percaya kepada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin) kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan.
Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti idak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit.
Jadi, golongan abangan masih mengadakan ritual kepada roh leluhur dengan berbagi macam tujuan. Baik untuk menghindarkan diri dari musibah, syukuran ataupun ketika mendapatkan musibah sekalipun. Berarti dapat dikatakan bahwa masyarakata abangan menurut Tylor berkepercayaan animism.










Rujuakan
Daniel L. Pals. seven theories of religion. Qalam. Cet. Pertama, 2001. Yogyakarta.
http://kejawen-religion.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jawa_2391.html






[1] http://kejawen-religion.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jawa_2391.html
[2] http://prayogabudakelingcity.wordpress.com/2012/10/01/teori-agama/
[3] Daniel L. Pals. seven theories of religion. Qalam. Cet. Pertama, 2001. Yogyakarta. 41
[4] http://kejawen-religion.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jawa_2391.html

Saturday 24 October 2015

HUBUNGAN AGAMA DENGAN SAINS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
Isu hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan pertentangan dan ketidaksesuaian Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antar keduanya. Kalangan lain beranggapan bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda, memiliki wilayah masing-masing yang terpisah baik segi objek formal-material (ontologi), metode penelitian (epistemologi), serta peran yang dimainkan (aksiologi).
 Di akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci). Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”. Yang menjadi pemasalahannya adakah titik temu antara agma dan sains.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian agama dan sains?
2.      Apa permasalahan agama dan sains?
3.      Bagimna hubungan agama dan sains?

C.     Tujuan
1.      Memahami pengertian agama dan sains
2.      Mengetahui permasalahan dalam agama dan sains
3.      Memahami hubungan agama dan sains
                                                                              



BAB II
PEMBAHSAN
A.    Pengertian Sains
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dan ilmu sangat berbeda maknanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga menghasilkan kebenaran yang obyektif serta telah diuji kebenarannya secara ilmiah, sedangkan pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh manusia atau segala sesuatu yang diperoleh manusia baik melalui pancaindra, intuisi, pengalaman, maupun pirasat.
Jadi ilmu pengetahuan (sains) adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai kumpulan rasionalisasi kolektif insani atau sebagai pengetahuan yang sudah sistematis.[1]
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dijelaskan sains adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
B.     Pengertian Agama
Dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dekenal pula kata din berasal dari Bahasa Arab dan kata religi dari Bahsa Eropa, sedangkan agama berasal dari Bahasa Sangsakerta.
Dalam kamus An English Readher’s Dictionary, A. S Homby dan Parnwell (1989) mengartikan religi sebagai berikut.
Ø  Belief in god as creator and control, of the universe (percaya kepada tuhan sebagi penciptan dan pengatur alam semesta),
Ø  System of faith and worship based on such belief (sitem iman dan penyembahan berdasarkan atas kepercayaan tertentu).[2]
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Menurut Emile Durkheim suatu sistem interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarkat dalam alam semesta.[3]
Menurut Insklopedi Indonesia I (Ed. Hasan shadily), istilah agama berasal dari bahasa sangsakerta: a berarti tidak, gama berarti pergi atau jalan dan yang a berarti bersifat atau keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal.[4]
Menurut Sidi Gazalba (1991) agama adalah kepercayaan pada hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib, hubungan yang menyatakan diri dalam bentuk serta sistem kultus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[5]
C.    Permasalahan Dalam Wilayah Sains Dan Agama
1.      Permasalahan Sains
Pertama, berbagai kritik mendasar terhadap dunia ilmu, terutama dari sudut filsafat ilmu, telah kian tegas memperlihatkan bahwa ilmu sesunguhnya mengandung persoalan-persoaln serius, baik pada tingkat asumsi-asumsi dasar metodologis maun inplikasi epistemologis maupun ontologis. Feyerabend telah menunjukan bahawa pada kenyataannya, ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidaklah bergantung pada metodologi umum atau hukum tertentu. Thomas Kuhn memperlihatkan bahwa diterima atau tidakntya suatu paradigma dalam dunia ilmu ternyata tak sepenuhnya ditentukan oleh alasan logis, tetapi banyak pula dipengaruhi unsur sosiologi dan psikologis. Dan sejak munculnya teori relativitas, fisika kuantum, dan teori ketidakpastian, konsep tentang objektivitas dan obsevasi menjadi sebuah problematik, sebab menjadi jelas dalam kegiatan ilmiah peran subjek dan persepektif teoretis sangatlah menentukan pula.
Kedua, hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata juga bisa ambivalen. Disatu pihak mampu merekayasa realitas menjadi makin sesuai dengan ambisi manusia, dipihak lain epek sampingnya pun bisa sangat desdruktif dan menimbulkan persoalan etis serius. Rekayasa biologi telah mengakibatkan  begitu banyak makan yang kita konsumsi mengandung zat-zat racun.
Ketiga, perjalanan ilmu hingga kini ternyata tekah mencapai wilayah spiritual, entah dalam bentuk spiritual quotient (SQ) dalam psikologi, Quantum-self dalam fisika baru, atau pola kognisi yang autopoetik dalam cognitive-science, dan seterusnya. Sehingga kini wilaayah ilmu dimungkinkan untuk berdialog denga khazanah agama, setelah lama antar keduannya sulit untuk berinteraksi.
Keempat, dominasi ilmu pengetahuan telah mengakibatkan  kecenderungan dominannya pola pikir instrumrntal-pragmatis dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan orientasi instrumrntal-pragmatis telah cukup parah merasuki lembaga-lembaga pendidikan, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Persekolahan sekarang lebih mirip lembaga pelatihan pertukangan ketimbang lembaga pendidikan yang menjadikan manusia lebih manusiawi.
2.      Permasalahan Dalam Agama
Disisi lain, kehidupan beragama pun mengalami banyak persoalan. Pertama, tendensi-tendensi deskruptif kini banyak bermunculan dalam kehidupan beragama, entah dalam bentuk eksklusuvisme kelompok, sikap moralitas berlebihan, konsumerisme symbol yang picik dan dangkal, atau ritualisme yang fanatik. Kedua, secara intern agama-agama pun mengalani kebingungan dogmatis akibat makin suburnya kecenderungan multitafsir. Ketiga, mentalitas superior masih demikian kuat becokol dikalangan orang-orang beragama sehingga tendensi hendak saling menaklukan atau merasa saling terancam. De facto agama terasa tak lagi membawa efek segnifikan dalam memeperbaiki kehidupan.
Selain mengalami persoalan intern masing-masing, ilmu dan agama pun mesti menghadapi persoalan global bersama  yang ditandai dengan permisivisme pasar yang makin mencemaskan; ketidak adilan struktural pada tingkat gelobal yang makin menimbulkan gejolak-gejolak berupa terorisme atau peperangan; perinsip survival of the pittest yang makin menguat pada tataran praksis; dan berbagai kecenderungan penghancuran diri entah dalanm berupa perusakan ekologis, pengembangan rekayasa genetik, ataupun tendensi bunuh diri.[6]
D.    Hubungan Sains Dengan Agama
Setelah kita melihat perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai persoalan yang meraka hadapi, maka kita melihat kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, ilmu membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa cara.
Pertama, kesadaran kritis dan sikap dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk menghancurkan agama, melaikan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.
Sebaliknya, agama dapat membantu ilmu untuk tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkreat yang mesti dihadapinya. Pertama, agama dapat mengigatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenarana, kedua, agama dapat mengingatkan ilmu untuk senantias membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan diatas kemajemukan pengetahuan itu sendiri. Ketiga, agama dapat membantu ilmu mempedalam penjelajahan diwilayah adikodrati atau supranatural. Keempat, agama bisa menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah terjerusu kedalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang mengnaggap bahwa sesuat dianggap bernilai sejauh ada manfaatnya dan bisa digunakan untuk kepentingan kita.
Maka, kalau kita bicara integrasi antara keduanya, agaknya itu mesti tetap dibayangkan sebagai sekedar interaksi. Masing-masing tetap layak memiliki otonomi dan kekuatan khasnya sendiri. Mencampurkan keduannya akan menjadi sebuah kekonyolan, yakni teologisasi ilmu, atau empirisasi teologi. Ini kedua-duanya absurd, sebab dengan meneologisasika ilmu, otomatis bobot keilmuan pun akan turun. Sebaliknya, mengempirikan teologi, meskipun bisa, akan menjadi bagai mengempirikkan filsafat. Sebenarnya, seperti halnya filsafat, teologi lebih banyak berurusan dengan tafsir misteri dan makna eksistensial, yang kedalaman maupun keluasannya melebihi wilayah kompetensi ilmu empirik. Dan juga, landasan dasar teologi adalah kitab suci dan realitas supranatural, yang menyebabkan teologi tidak pernah bisa menggunakan nalar dengan keleluasan sebebas penalaran ilmu empirik.
Jika yang dibayangkan adalah interaksi agama dan ilmu, maka yang paling realistis adalah sekadar memberi peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi itu. Dan iteraksi itu bisa berupa saling mengkritik ataupun saling mendekonstruksi, tetapi ini semata-mata agar ilmu dan agama mampu untuk selalu mentransendensi dirinya sendiri, dengan cara mendobrak ketertutupan atau stagnasi masing-masing.[7]
Hubungan antara sains dan agama tidak selalu harmonis, konflik terjadi ketika teori sains berbentutran dengan ajaran agama yang diterjemahkan secara harpiyah oleh G. Barbour. Lihat saja tragedy ilmuwan Galileo Galilei yang dihukum mati pada tahun 1663 ketika mengeluarkan teori heleosentris dari Necolaus Copernicus. Hal ini dianggap menentang doktrin gereja yang waktu itu menganut paham geosentris dari Ptolemaeus yang didukung oleh Aristoteles. Teori evolusi Darwin dianggap melecehkan doktrin penciptaan Alkitab, sehingga diusulkan untuk dilarang di Arkansas.
Dalam islam, konplik antara sain dan agama juga terjadi walaupun tidak separah itu. Misalnya, ada ulama yang membantah adanya astronot Amerika  bisa mendarat di Bulan, dengan dalih bahwa benda langit itu suci maka tidak mungkin manusia kafir menyentuhnya. Atau mereka yang tetep menolak hasil USG yang bisa mengetahui jenis kelamin janin didalam perut ibunya. Dengan dalih, hanya Allah saja yang bisa tahu apa yang didalam rahim. Ramalan hujan hasil penginderaan satelit cuaca juga ditolak karena hanya Allah saja yang tahu kapan turun hujan. Penafsiran terhadap kitab suci adalah salah satu penyebab konflik tadi. Apalagi bila kosmologi pra-agama dianggap sebagai rukun iman.[8]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memang benar agama dan sains mempunya eintitas masing-masing dan akan sulit untuk menilai keduanya dalam hal persamaan, dalam makalah ini dijelaskan aspek-aspek yang mungkin menjadi titik persamaan:
Pertama, kesadaran kritis dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.


Daftar Pustaka
Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung.
A. A Yewangoe, Agama Dan Kerukuna, PT Gunung Mulia, cet. 4, 2009,  Jakarta.
Agus M. Hardjana, Religiusitas,Agama Dan Spiritualits, Kanisius, cet. 1, Yoyakarta, 2005.
Wahyuddin Achmad, M. Ilyas, M. Saefulloh, Z. Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, Grasindo, Surabaya, 2009.
Bambang Pranggono, Sains Menggali Inspirasi Ilmiah, Ide Islami, Bandung, 2006



[1] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 82
[2] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 12
[3] A. A yewangoe, agama dan kerukunan, hlm. 3
[4] Agus m. hardjana, religiusitas,agama dan spiritualits, Hlm. 50
[5] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 12
[6] Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 43-44
[7] Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 45-47
[8] Bambang pranggono, sains menggali inspirasi ilmiah, hlm. ix