PopAds

Monday 9 November 2015

KEPERCAYAAN ABANGAN DALAM MASYRAKAT JAWA “PENDEKATAAN TYLOR”



Para ahli Antropologi dan Sosiologi meyakini bahwa masyarakat Jawa terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kepercayaan dan amal agamanya. Beberapa ahli mencoba merumuskan pembagian keompok itu, yang paling terkenal adalah kategorisasi yang dibuat Geertz. Ia mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kategori sebagai berikut:
1. Santri, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam Shalat, Zakat, Puasa, dan meninggalkan segala keharaman, tidak makan babi, tidak membuat sesajen, dan sebagainya.
2. Abangan, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namu kurang memegang teguh syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak shalat, puasa, dan sebagainya. Masih mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen, grebegan, dan lainnya.
3. Priyayi, yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepasa dari sikap dan cara keberagamaan mereka.
Sementara itu, dalam pengelompokan yang dikemukakan Deliar Noer dan Zaini Muchtarom, hanya ada dua kelompok, yakni santri dan abangan saja.
 Dalam membangun dasar pemahaman tentang kepercayaan dan keagamaan kelompok abangan, rasanya kita perlu menempatkan agama-agama yang mempengaruhi orang Jawa berdasarkan lintasan zaman. Setelah zaman prasejarah serta kurun kepercayaan animis.[1]
Teori
Bagi Taylor Agama merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual, definisi ini dapat diterima dan memiliki kelebihan sendiri, karena sederhana, eksplisit, dan memiliki cakupan yang luas. Walaupun kita dapat menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun salah satu karakteristik yang dimiliki setiap agama adalah keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berprilaku dan berperasaan seperti manusia. Esensi setiap agama, seperti halnya mitologi adalah animisme (berasal dari bahasa latin anima yang berarti roh). Animisme adalah bentuk pemikiran manusia yang paling tua, yang dapat ditemukan dalam setiap sejarah manusia. Namun, menurut Taylor kepercayaan seperti ini tidak bisa diterima, karena hal tersebut hanyalah bersifat pribadi dan tidak bisa dibuktikan secara alamiah. Menurutnya penalaran masyarakat primitif yang mengadopsi kepercayaan ini masih infantilitas (kanak-kanak) kemudian menemukan bentuk kepercayaan religiusnya yang pertama. Seperti mitos-mitos mereka, pengajaran agama muncul dari usaha yang rasional untuk menjelaskan cara kerja alam. Dan dari perspektif ini semua sudah jelas, bahwa sebagai mana roh menggerakkan seorang manusia, maka spirit pun telah menggerakkan alam semesta.
Taylor beragumen bahwa arti penting teori animistik ini ketika menjelaskan masyarakat primitif akan terlihat dari varian-varian kepercayaan dan adat istiadat purba yang bisa dijelaskannya. Dalam terminologi animistik, semua ajaran ini bisa dipahami sebagai proses berlanjutnya kehidupan jiwa sesudah kematian. Namun, setelah melakukan penelitian lebih lanjut Taylor berpesan, kepercayaan anismitik ini nanti akan megalami stagnasi, karena bagaimanapun juga teori-teori tentang animistik akan disingkirkan dalam kehidupan sehari-hari oleh perkembangan intelektual. Karena animism hanyalah usaha masyarakat kuno untuk memahami dan merespon misteri dan peristiwa yang luar biasa memiliki kesamaan dengan sains pada zaman sekarang. Dia menambahkan walaupun agama sama kunonya dengan sains, namun agama lebih primitif dan kemampuannya memberikan penjelasan kalah jauh dibandingkan sains.[2]
Bagi Taylor, kepercayaan terhadap kekuatan spiritual meprensentasikan satu tahapan alami dalam evolusi pemikiran manusia, namun bukanlah tahapan akhir, karena masih ada tahapan lain yang lebih rasional dalam merespon alam, yaitu program dan metode ilmu-ilmu empiris yang mulai muncul saat ini.[3]
Pembahasan
Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa pada abad pertama Masehi. Tetapi Hindu sebagai sebuah peradaban baru mencapai kemajuan di Jawa pada abad kelima. Kerajaan Jawa yang bercorak Hindu mulai muncul sejak abad kedelapan hingga awal abad keenam belas dan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: Kerajaan di Jawa Tengah dan Kerajaan di Jawa Timur.
Hinduisme yang masuk ke Jawa tergolong sebagai aliran Hindu-Syvaisme (pemuja Syiwa). Menurut Muchtarom, ada beberapa bukti bahwa Buddhisme pun masuk ke Jawa pada beberapa dasawarsa terakhir abad ketujuh. Budha yang masuk ke Jawa ketika itu ialah aliran Mahayana, sementara sebelum itu aliran Budha-Hinayana telah masuk dan bercokol Sumatera.
Sejak pertengahan abad kesepuluh hingga pertengahan abad kelima belas, kebudayaan Hindu berkembang pesat di Jawa. Ini merupakan bukti bahwa Hinduisme dan Buddhisme yang masuk ke Jawa melalui para pedagang India diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu.
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia gaib (dunia yang tak nampak), didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian yang mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan demikian: segala sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tumbuhan, apakah besar atau kecil, mempunyai nyawanya sendiri. Kepercayaan religius ini merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis juga agama Hinduisme yang semuanya telah ditambah dengan ajaran Islam. Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti ‘tuhan’. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Shalat sehari-hari disebut sembahyang dalam bahasa Jawa. Kata ini berasal dari kata sembah yang berarti ‘penyembahan’ dan yang yang artinya ‘tuhan’. Tak seorangpun dapat menghitung jumlah para yang. Di antaranya terdapat danyang desa (roh pelindung desa). Orang Jawa menganggap bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung sendiri yang tinggal dalam sebatang pohon yang rindang. Penduduk membayangkan bahwa roh-roh itu sudah tinggal di tempat tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk pembangunan desa yang bersangkutan. Banyak orang desa yang ingin mendapat berkah atau minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan saji-sajian berupa kemenyan dan bunga ke tempat sajian pohon besar tersebut serta mengemukakan kesulitannya dan kebutuhannya akan perlindungan kepada danyang desa. Dalam bahasa Jawa puja itu disebut donga yang berasal dari kata bahasa Arab du’a. Donga itu terdiri atas rumus-rumus bahasa Arab yang dinamakan donga slamet (doa keselamatan). Bukan hanya desa yang ada danyangnya melainkan juga sawah, pasar, gedung-gedung besar dan sebagainya. Tempat-tempat yang dikuasai oleh danyang dan tidak dapat dihuni atau dimasuki oleh manusia disebut angker dalam bahsa jawa yang artinya tidak dapat didekati.
Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa. Selain danyang orang Jawa percaya kepada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin) kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti idak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit.
Slametan semacam ini bagi para abangan melambangkan keharusan kerja sama dan ikatan sosial. Di samping slametan untuk kesempatan khusus, setiap tahun penduduk desa mengadakan kenduri bagi roh pelindung yang terkenal sebagai sedekah bumi. Ini dirayakan di luar rumah, di bawah pohon atau di sawah di bawah tarub (tenda). untuk kenduri upacara ini seekor kerbau disembelih dan kepalanya, tulang, dan tubuhnya dipendam pada tempat itu juga.
Kebiasaan menyembah arwah orang mati terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang penting secara religius di antara kaum abangan. Yang sama pentingnya ialah penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut keramat. Kata ini berasal dari kata bahasa Arab karamah yang berarti mulia. Banyak kuburan ‘orang suci’ di Jawa yang dianggap keramat, seperti makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berziarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah. Penghormatan kepada orang mati diungkapkan dengan jalan membersihkan kuburan dan sebagian dengan mengadakan kenduri yang oleh orang Jawa dipandang sajian kepada atau sajian untuk orang yang meninggal itu. Kalau niat kita berziarah ke kuburan itu adalah untuk mengingat mati atau untuk mendoakan dan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal itu, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Akan tetapi kalau meminta-minta kepada arwah orang yang sudah mati atau bahkan menyembahnya maka kita akan jatuh ke lembah syirik yang merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni Allah.[4]
Simpulan
Hinduisme dan Islam telah menambahkan sejumlah kauna gaib (roh halus) kepada dunia roh-roh orang Jawa. Selain danyang orang Jawa percaya kepada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Kepercayaan mereka kepada jim (jin) kata yang berasal dari kata Arab jinn, dan setan berakar dalam Islam. Sesuai dengan itu roh-roh halus dengan berbagai asal dimasukkan ke dalam dunia gaib orang Jawa. Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan.
Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keadaan slamet (selamat) dalam arti idak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan dia, yang memiskinkan atau menjadikan dia sakit.
Jadi, golongan abangan masih mengadakan ritual kepada roh leluhur dengan berbagi macam tujuan. Baik untuk menghindarkan diri dari musibah, syukuran ataupun ketika mendapatkan musibah sekalipun. Berarti dapat dikatakan bahwa masyarakata abangan menurut Tylor berkepercayaan animism.










Rujuakan
Daniel L. Pals. seven theories of religion. Qalam. Cet. Pertama, 2001. Yogyakarta.
http://kejawen-religion.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jawa_2391.html






[1] http://kejawen-religion.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jawa_2391.html
[2] http://prayogabudakelingcity.wordpress.com/2012/10/01/teori-agama/
[3] Daniel L. Pals. seven theories of religion. Qalam. Cet. Pertama, 2001. Yogyakarta. 41
[4] http://kejawen-religion.blogspot.com/2010/09/gerakan-kebatinan-dalam-masyarakat-jawa_2391.html