BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Pengaruh globalisasi luar biasa dahsyat dan kompleks dalam mengubah
kehidupan manusia dengan segala aspek diluar dari yang dibayangkan sebelumya.
Ia telah menyebabkan luntur, dan bahkan lenyapnya jati diri dan nilai-nilai
suatu kultur budaya. Namun ia juga telah memberikan kontribusi dalam
mrnghidupkan dan menyadarkan kembali nilai dan tradisi warisan tersebut serta “penegasan
jati diri keagamaan” seperti yang sekarang dikenal dengan “fundamentalisme
keagamaan” khususnya yang beratribut islam yang menjadi kekuatan paling
tangguh melawan hegemoni sistem gelobal.
Akan tetapi, globalisasi juga telah mempengaruhi secara nyata dan
sangat signifikan, memunculkan gagasan-gagasan dan wacana-wacana teologis baru
yang sangat radikal, yang intinya mengajukan bahwa tidak perlu bersikap resisten[1]
dan menentang globalisasi dan globalisme yang sudah nyata menjadi kenyataan dan
tak mungkin menghindarinya. Sebaliknya manusia harus menguabah atau merombak
pemikirn-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama
dengan zaman dan nilai-nilai yang diyakini universal.
Tren pemikiran pluralisme ini telah dibahas dan ditulis oleh
Wilfred Cantwell Smith yang berjudul toward a world theology (menuju
sebuah teologi dunia) dan john hick yang berjudul global theology
(teologi global). Oleh karenanya dalam tulisan ini penulis akan membahas lebih
mendalam mengenai global theology john hick.
B.
Rumusan
masalah
1. Bagaimana konsep pemikiran pluralism Wilfred Cantwell Smith?
2. Bagaimana konsep pemikiran pluralism John Hick?
C.
Tujuna
1. Memahami konsep pluralism Wilfred Cantwell Smith
2. Memahami konsep pluralisme John Hick
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengkaji
Ulang Terminologi Agama : Wilfred Cantwell Smith
Wilfred C. smith menegaskan diberbagai tempat dan kesempatan bahwa
isu yang paling menantang, dan paling penting, bagi manusia abad ke-20 adalah
bagaimana mengubah our nascent world society (masyarakat dunia yang baru
saja tumbuh dan muncul dalam wujud) menjadi a world community (sebuah
komunitas dunia). Seperti ungkapan smith: “ dan hal ini bukanlah hal yang
gampang. Maka kita harus mempeljari tugas baru kita untuk hidup bersama sebagai
partner dalam dunia yang multi-kultural, selama manusia tidak bisa saling pengertian
dan mencintai satu sama lain secara lintas batas agama dan keyakinan bisa hidup
bersama dengan damai, maka masa depan planet kita tidak akan cerah.[2]
Maka tugas yang paling besar menurut semith bagi manusia modern
adalah universal friendship (persahabatan universal). Namun ini tidak
akan mudah diwujudkan selain menggunakan dasar agama. Setelah melakukan riseet Smit
bekeyakinan bahwa pokok dan inti permasalahan yang sebenarnya terletak pada
minologi “agama” itu sendiri. Sebab menurutnya, agamalah yang memecah belah
manusia menjadi sekte-sekte dan kelompok-kelompok agama yang bermacam-macam dan
berbeda-beda, bahkan saling bersebrangan dan bertentangan, tidak hanya antar
agama tapi dalam agama yang satu dan sama. Oleh karena itu, perlu penelitian
dan pengkajian mendalam guna membangun teologi baru yang mampu memberikan
solusi terhadap permasalahan tersebut.
Dalam kajian yang sungguh-sungguh Smith sampai pada sebuah
kesimpulan yang sangat mengagetkan dan provokatif. Ia melontarkan tesis “perlunya
mengkaji ulang terminology agama”, dia menjelaskan dalam bukunya yang
berjudu the meaning and End of religion, mendapati terminology agama ini
sangat problematic, ambigu[3],
controversial dan mengundang polemik dan pertanyaan-pertanyaan tak berujung,
sampai pada level seseorang tidak dapat memberikan definisi istilah ini secara
definitif, convincing dan bisa disepakati bersama. Dari sini, ia menyatakan
dengan tegas dan tanpa reserve sedikitpun bahwa “dibumu maupun di langit, tidak
ada sesuatu yang bernama agama”.
Apa yang kita namakan agama dewasa ini, menurut pembacaan Smith,
adalah sesuatu yang dianggap oleh orang melauli jendela atau kacamata pemikiran
tertentu sebaginama sekumpulan keyakinan-keyakinan yang terorganisir yang terus
berkembang dari masa kemasa yang kemudian disebut agama padahal kenyataanya
tidak ada esensinya sama sekali yang bisa dipahami secara jelas tanpa
perdebatan.
Berdasarkan bacaan diatas, terminology agama dalam pemahaman
seperti ini adalah realitas baru, sebab menurut Smith sebelumnya tidak pernah
dikenal seperti itu. Menurutnya perkembangan ini tidak diinginkan melainkan
juga mengaburkan relaitas sebenarnya. Sebab pertama, permasalahn ini telah
menimbulkan problem yang sangat kompleks dan krusial, yaitu fenomena pluralitas
agama yang saling bertentangan; kedua, agama dalam pemahaman seperti ini dalam
kenyataannya dilapangan tidak ada esensinya sama sekali, karena senantias
berubah dan berkembang di dalam hati manusia setiap saat, dan bahkan setiap
pagi. [4]
Dari sini Smith mengajak melepaskan terminology agama sebagai kata
benda, dan bukan sebagi sifat, secara sepenuhnya dan untuk selama-lamanya. Ia mengusulkan
dua termonologi baru: yaiut cumulative tradisonal dalam arti
tradisi-tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia sebagi hasil interaksi
antar berbagai kumpulan dari anasir[5]
keagamaan dan budaya yang hidup seperti keyakinan ritus, ritual, teks suci dan
tafsirannya, mitos, seni dan sebaginya, sehingga membentuk sutu sistem
tersendiri yang karakteristik yang kemudian disebut tradisi Hindu, Budha, Yahdui,
Kristen, muslim dan sebaginya. Selain cumulative tradisona smith juga
mengajukan faith (iman yang sifatnya sangat pribadi).
Menurut Smith, kondisi seprrti ini tidak mungkin tercipta kecuali
dengan memperluas atau memperlebar “jendela-jendela” atau menurut istilh John
Hick “kaca mata-kaca mata”, pemikiran yang diwariskan era pencerahan, atau
bahkan jika perlu dengan menggantinya dengan yang baru. Hanya dengan cara
seperti itu kita dapat meliahat fenomena “agama” dan “pluralism agama”.[6]
B.
Transformasi
Dari Pemusatan Agama Menuju Pemusatan Tuhan: John Hick
Seperti sudah disingguh diawal bawa kedua sarjana ini Wilfred C. Smith
dan John Hick dalam gagasan pluralismenya sama-sama menggunakan pradigma Kuhnian
sebagi metodologi gunaka meletakan suatu teori yang dimaksudkan sebagai
solusi dari problem-problem fenomena pluralisme agama yang sangat kompek dan
saling berseberangan.
Namun perlu diingatkan disini baik Smith maupun Hick menempuh
caranya sendiri dalam dalam mengaplikasi, mengembangkan dan menginterpretasikan
paradigm ini. Smith mencoba meninterpretasikan melalui model Newtonian
revolution yang telah menemukan teori bahwa planet adalah sama dalam hukum
gravitasi dan pergerakan, yaitu kebalikan yang diduga manusia sebelum bahwa
hukum-hukum alam hanya berlaku pada planet bumi.[7]
Sementara John Hick menginterpretasikannya melalui model Copernican
Revolution, yang menemukan "sentralitas matahari" dalam galaksi
kita sebagai ganti planet bumi yang dahulu secara umum diyakini manusia. Maka
masing-masing kemudian sampai pada sebuah "hidayah" yang sama, secara
analogis dengan kedua revolusi ilmu fisika tersebut, yaitu keharusan apa bisa
disebut "revolusi teologis" terhadap dikotomi dunia agama-yakni agama
saya benar (haq) dan agama orang lain
salah (batil). Oleh karena itu, Smith
menganjurkan keharusan "transformasi orientasi dari pemusatan 'agama'
menuju pemusatan "iman" dan "himpunan tradisi" seperti
yang telah kita bincangkan di muka. Sementara Hick menganjurkan keharusan
"transformasi orientasi dari pemusatan "agama" menuju pemusatan
"tuhan", seperti yang akan kita perbincangkan berikut ini.
Barangkali orang pertama yang menggunakan "kaca mata Smithian"
dalam konteks ini adalah Hick sendiri, sekiranya dalam bukunya Philosophy of Religion, yang merupakan
karya pertamanya yang membicarakan wacana pluralisme agama dan terbit tahun
1963 (yakni kurang lebih setahun setelah Smith meluncurkan teori-teorinya
tentang "agama" dan "agama-agama" tahun 1962)[8]
dan Hick percaya bahwa agama muncul melalui perjumpaan manuisa dengan yang rill.
Tetapi lain lagi dengan Nasr kebenaran itu (agama) baik yang bersifat religious
ataupun yang lainnya, sakral, semua bersumber dari Tuhan.[9]
Dalam bukunya itu Hick menafsirkan fenomena ini dan mengembangkannya
berdasarkan kesimpulan Smith, bahwa kehidupan spiritual keagaman manusia
tidaklah berhenti dan tetap (static), melainkan senantiasa baru, berkembang dan
berubah-rubah terus menerus sesuai perubahan masa dan perkembangan akal
manusia.[10]
Berdasarkan perkembangan global ini, Hick memprediksi
bahwa secara gradual akan terjadi converging courses (proses konvergensi cara-cara beragama) di masa yang
akan datang, sehingga pada suatu ketika agama-agama ini akan lebih menyerupai
sekte-sekte.
Wacana atau pemikiran keagamaan lintas kultural ini menurut Hick, harus
dibungkus dalam kemasan yang ia sebut global theology (teologi global) seperti yang la ungkapkan
dalam bukunya yang lain:
"Hendaknya kita siap
merespons situasi baru dengan memulai program jangka panjang guna membangun
teologi global atau humanis.
Karena dapat diamati bahwa teologi global
akan relevan dengan kelangsungan kondisi pluralitas agama sebagai bentuk kehidupan
beragama yang realistis.
Dalam pandangannya, jika dianggap tidak mungkin adanya
agama universal, maka sebetulnya ada kemungkinan untuk menggagas cara-cara dan
upaya-upaya untuk mencapai "teologi global" (suatu terminologi yang
menurutnya preferable)." Ajakan atau propaganda kuat untuk rnengawal, atau lebih
tepatnya mengekor, proses globalisasi yang kini sedang berlangsung dengan
ingar-bingarnya, telah menyisakan pertanyaan-pertanyaan krusial dan mengundang
berbagai kecurigaan sekitar apakah teologi global ini merupakan bagian organik
dan proses ini dan salah satu mekanismenya, sebagaimana yang tampak dari kehendak
kekuatan-kekuatan global yang berada di belakangnya. Apapun yang
terjadi, yang jelas baik Smith maupun Hick telah menjadikan, globalisasi atau
globalisme sebagai salah satu dasar utama, dan yang terpenting, bagi teori
pluralise agama.[11]
Apa sejatinya tesis ini? Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa
frase yang digunakan Hick untuk mengungkapkan tesis ini adalah "the
transfonnation from self-centr dness to Reality-centredness (transformasi dari pemusatan
diri menuju pemusatan Realitas). Di sini dapat dicatat bahwa Hick menggunakan
terminologi "self' (diri) sebagai pengganti "religion" (agama)
mengikuti "kaca-mata Smithian" yang digunakannya untuk melihat
fenomena agama. Sebagaimana
telah diketahui sebelumnya, menurut Smith istilah "agama" tidak lagi
patut untuk merangkul dan mengakomodasi fenomena-fenomena keagamaan yang hidup
dan terus berkembang dan berubah-rubah, sehingga harus ditinggalkan sepenuhnya
dan diganti dengan istilah "iman" dan "himpunan tradisi". Berangkat
dari "iman Smithian" ini, yang oleh Hick didefinisikan sebagai something
of vital religious significance (sesuatu makna keagamaan yang vital), Hick
berteori bahwa "iman" dalam arti seperti ini "mengambil bentuk-bentuk
yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di
seluruh dunia. Keadaan spiritual ini terbentuk di dalam kesadaran dan jiwa
seseorang, menurut anggapan Hick, sebagai akibat atau hasil dari pengalaman
spiritualnya dalam merespons Realitas ketuhanan yang absolut. Dengan kalimat
lain, Hick memahami "iman" ini sebagai the exercise of cognitive freedom (penggunaan kebebasan kognitif).[12]
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, Hick hendak
menegaskan bahwa jalan keselamatan/pembebasan/pencerahan tidaklah tunggal dan
monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi
atau ajaran-ajaran yang melaluinya manusia melakukan respons terhadap Realitas
ketuhanan yang mutlak dan absolut.
Dipandang dari
sudut pemahaman "positif' terhadap kehidupan iman manusia ini, maka upaya
mempermasalahkan benar (haq) atau salah (batil) terhadap agama-agama
menjadi tidak lagi relevan dan tepat. Namun, di samping itu semua, ternyata
masih terdapat persoalan-persoalan pelik yang tidak mudah diselesaikan, dan
Hick sangat sadar akan hal ini. Sebagian dari persoalan-persoalan pelik tersebut, yang
terpenting adalah persoalan teks-teks suci dan aqidah-aqidah agama yang
mennyatakan, baik secara eksplisit maupun implisit, memonopoli kebenaran mutlak
atau keselamatan atau pembebasan atau pencerahan secara eksklusil hanya dalam
satu agama tertentu saja, atau yang dikenal dengan the conflicting truth-claims (klaim-klaim kebenaran yang berseberangan), Di
dalam tradisi Kristen, misalnya, ada teks dalam Perjanjian Baru yang menyatakan
bahwa Isa al-Masih adalah satu-satunya jalan menuju koselamatan
(doktrin penyaliban dan penebusan),[13]
Konon beliau mengaku bahwa beliau adalah almasih, jurus selamat, raja
Israel dan pembebas mereka dari pendudukan pemerintah penjajahan romawi.[14] sebagaimana juga ada doktrin "inkarnasi"
yang merupakan pusat keimanan Kristen. Di sini, Hick mencoba memberikan solusi
lewat gagasannya yang lain, yang ia anggap rasional dan memuaskan, yang mungkin
bisa disebut dengan "Christological revolution". Intinya
adalah bahwa teks-teks dari keyakinan-keyakinan atau doktrin-doktrin seperti
ini harus dimasukkan kedalam wilayah "mitos", sebab kalau masih tetap
dalam wilayah nyata masing-masing, maka tak terhindarkan akan konflik dengan
realitas praktis kehidupan manusia masa kini yang plural.
Wacana ini,
menurut pandangan banyak peneliti termasuk John Hick, merupakan wacana
epistemologis. Oleh karena itu, Hick lalu memandang paradigma "revolusi
Kantian" di sini sangat berguna, karena konsep "Tuhan" dalam
agama merupakan pokok dan pangkal dan bahkan niscaya untuk memahami;
menganalisa dan menjelaskannya. Begitu pula konsep keselamatan/pembebasan/pencerahan,
maka segala perhatian Hick pertama-tama diarahkan kepada konsep ini. Kemudian
beliau meyakini diatas dasar epitemologi akan lair sebuah teori pluralism
agama.[15]
Sebagaimana yang kita lihat, dan diakui oleh Hick sendiri, bahwa teori
"Tuhan" ini merupakan inti dan sentral hipotesis yang ditawarkannya.
Nah, di sini la melihat bahwa "revolusi Copernican" dalam Fisika,
plus "revolusi Kantian", tidak saja dapat diaplikasikan dalam teologi
agama-agama tapi bahkan suatu keniscayaan belaka, khususnya untuk memahami
hakikat dan karakter hubungan agama dengan Tuhan, sebagaimana yang ia rinci
secara panjang lebar dalam bukunya yang berjudul God and the Universe of
Faiths.
Hick mengamati bahwa mayoritas manusia, baik ulamanya
maupun awamnya, dalam pandangan mereka terhadap keselamatan, pembebasan dan
pencerahan, masih senantiasa terkungkung dalam apa yang la sebut nalar
"teologi Ptolemaik". Sebagaimana "astronomi Ptolemaik" menganggap
bahwa planet bumi merupakan pusat sistem tata-surya dan bahwa semua benda-benda
langit berevolusi dan berotasi mengelilingi bumi, maka setiap pengikut agama
menganggap bahwa agamanya merupakan pusat dunia agama-agama dan bahwa agama-agama
lain berevolusi dan berotasi mengelilinginya. Maka secara analogi, doktrin
"tidak ada keselamatan diluar Kristen” menurut Hick, adalah teologi
Ptolemaik.
Dihadapan berbagai pekembangan dan penemuan baru ilmiah
dan sosio-kultural, khususnya di bidang astronomi dan ilmu perbandingan agama,
orientasi pandangan semacam ini, menurut Hick, telah menjadi sesuatu yang baseless,
untenable (tidak mungkin dipertahankan), serta harus diubah dan
diperbaharui sebagaimna yang ia katakana: “kita harus mmelakukan apa yang
disebut ‘revolusi copernican’ dalam teologi agama-agama”. Seperti yang
terlontar Gavin D’Costa dalam teology Kristen yang hanya memusatkan keselamtan
yang absolute pada diri Yesus,[16]
Orang-orang kristen percaya bahwa
penyaliban Yesus adalah jaminan keselamatan bagi mereka.[17]
Telah mengalami transpormasi yang sangat radikal dan menjadi hanya salah satu
dari sekian banyak jalan keselamatan yang ada.
Sebetulnya ajakan atau seruan ini diarahkan Hick, sebagai
seorang Kristen, pertarna-tama kepada saudara-saudaranya yang beragama Kristen
yang masih senantiasa mengimani "absolutisme Kristen". Itulah
sebabnya dalam mengemas hipotesisnya, Hick berapologi, lebih banyak dari sudut
pandang Kristen atau menggunakan idiom-idiom dan istilah-istilah yang banyak
dikenal dalam Kristen. Namun, meski demikian, ia sangat mengharap
"revolusi teologis" seperti ini juga terjadi dalam agama-agama lain
dengan membebankan tanggung jawabnya kepada para pemeluk agama-agama
tersebut-khususnya para ulama dan teolognya. Dan proses ini tentu harus
didahului dengan proses-proses pendahuluan yang sangat berat dan tidak gampang,
sebagaimana yang dilakukan Hick, yaitu seperti apa yang disebut John S. Dunne
dengan "passing-over" (suatu perjalanan atau pengembaraan spiritual
melintasi batas atau sekat agama dan budaya untuk kemudian kembali ke agama
yang asli dengan visi yang baru). Tampaknya "Visi baru" inilah yang
menurut Hick akan banyak menolong manusia modern dalam mencari solusi-solusi,
yang tidak saja realistis, obyektif, rasional, convincing dan promising,
tapi lebih dari itu semua, bisa diaplikasikan (applicable) dan jitu sekaligus
mengesankan- dalam membangun kehidupan bersama yang penuh kedamaian,
kesetaraan, toleransi timbal-balik diantara tradisi, agama dan budaya-budaya
yang amat beragam dan saling bertentangan. Nah, diantara solusi-solusi ini
adalah hipotesis Hick tentang pluralisme agama yang ia tuangkan dalam tesis
"Transformasi dari pemusatan-agama menuju pemusatan-Tuhan"
sebagaimana diuraikan di muka, dan yang pada dasarnya ia maksudkan sebagai
alternatif dari teori-teori skeptisisme total terhadap fenomena pluralitas
agama.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hick merupakan tokoh yang sangat berperan penting dalam
terbentuknya hidup harmonis antar umat beragama, dia tidak setuju terhadap
asolutisme suatu agama yang menggap dirinya benar (haq) dan lainnya salah
(batil). Dalam pendekatannya Hick sama dengan
Smith sama-sama menggunakan istilah pemusatan, tetapi model yang digunakannya
yang berbeda dimana Smith menginterpretasikan dengan model Newtonian revolution
dan Hick dengan model conpernican revolution.
Kalau kita lihat Hick mengembangkan padangan pada dasarnya
adalah kontek sekuler, hipotesisnya bersifat idiologis. Dan kalau saya uraikan
sebagai berikut: pertama, Hick percaya bahwa agama muncul dari melaui
perjumpaan manusia dengan yang rill. Secara lebih khusus Hick menyatakan bahwa
manusia menyumbangkan terbentuknya agama. Kedua,hipotesis Hick ini
bersifat autoritatif, yang menampakan diri dalam suatu kebenaran yang mendikte
cara. Sehingga beberapa kritik datang dari Donovan, Surin dan Apczynski. Ketiga,
hipotesis Hick lebih bersifat khas-budaya tertentu (barat) ketimbang
trans-kultural.
Kalau kita lihat pernyataan hick tentang pluralisme agama
merupaka tujuan terakhir. Melaui saling interaksi dan konvergensi, agama sedang
mengarah pada suatu kesatuan yang menghapus batas-batas yang ada, dan pada intinya
pluralisme agama dapat dan harus memodifikasi agama. Naser tidak sepaham dengan
Hick, menurutnya pluralisme agama (tradisi) merupakan kendaraan yang melaulinya
sifat-sifat sakral tradisi lain dapat direalisasikanya. Perealisasian ini tidak
membuat agama bersatu sebaliknya pliralisme menggarisbawahi batas-batas agama
dengan saling menghormati yang sakral.
DAFTAR PUSTAKA
Anis Malik Thaha. Tren Pluralism
Agama (Tinjauan Kritis). Gema Insani. 2005. Jakarta.
Adnan Aslan. Menyikapi Kebenaran.
Alifya. Cet. 1. 2004. Bandung.
Muhammad Madji Marjan. Isa
Manusia Apa Bukan. Gema Insane Press. 1993. Jakarta.
Muhammad Ali al-Kuhli. Kebenaran
Yesus Kristus. Citra Media. 1996. Surabaya.
[3] Ambigu dapat di artikan sehingga
kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan. KBBI hlm. 27
[5] sesuatu (orang, paham, sifat, dsb) yg menjadi bagian dr
atau termasuk dl keseluruhan (suasana, perkumpulan, gerakan, dsb).KBBI hlm. 33
[9] Adnan Aslan. Menyikapi
Kebenaran. Alifya. Cet. 1. 2004. Bandung. Hlm. 165
[10] Anis Malik Thaha. Tren Pluralism Agama (Tinjauan Kritis).
Gema Insani. 2005. Jakarta. Hlm. 79
[11] Ibid. 81
[13] Ibid. 82
[14] Muhammad Madji Marjan, Isa Manusia Apa Bukan, Gema Insane Press,
Jakarta, 1993, hlm 140.
[16] Ibid. 87
[17] Muhammad Ali al-Kuhli. Kebenaran Yesus Kristus. Citra Media.
1996. Surabaya. hlm. 60
No comments:
Post a Comment