PopAds

Friday 23 January 2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.
Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik yang didasarkan kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.
Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di banyak daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.
Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.



B.     Rumusan Maslah

1.      apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx.
2.      sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau material semata.
C.     Tujuan
1.      Mengetahui latar belakang konflik dan pemecahannya berdasarkan teori max
2.      Mengetahui terjadinya konflik di ambon, dan mengidentifikasi asal permasalahannya.




BAB II


PEMBAHASAN

A.    Landasan teori
a.      Pengertian konflik
Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” – yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lai”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu luas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.[1] Bagi Pruitt dan Rubin, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.[2]
Dalam hal ini konflik menggunakan istilah “kepentingan”, sementara orang lain menggunakan istilah “nilai-nilai” (values) atau “kebutuhan” (needs). Kepentingan, menurut Raven dan Rubin (1983), adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat (intensi)-nya.[3]
b.      Kajian Teori
Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama dan yang paling kontroversial yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan dalam hal ini Islam untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.[4]
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk rawan terhadap terjadinya konflik sosial, karena secara garis besar struktur sosial masyarakat Indonesia terbagi kedalam beberapa suku bangsa, agama, ataupun golongan yang beragam.
Menurut J. Ranjabar hal-hal yang dapat terjadinya konflik pada masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Apabila terjadi dominasi suatu kelompok terhadap kelompaok lain, contoh adalah konflik yang terjadi di Aceh dan Papua.
2.      Apabila terdapat persaingan dalam mendapatkan mata pencaharian hidup antara kelompok yang berlainan suku bangsa, contoh konflik yang terjadi di Sambas.
3.      Apabila terjadi pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari warga sebuah suku terhadap warga suku bangsa lain. Contoh konflik yang terjadi di Sampit.
4.      Apabila terdapat potensi konflik yang terpendam, yang telah bermusuhan secara adat. Contohnya konflik antar suku di pedalaman Papua.[5]
Tetapi selain ari factor-faktor tersebut Biangkeladi ditenggarai masalah sosial, ekonomi dan politik lokal yang karut marut akan tetapi, menurut Des Alwi mantan anggota tim khusus untuk ambon yang dibentuk oleh pemerintah BJ Habibi, faktor balas dendam merupakan penyebab yang lebih utama, sehingga membuat runyam konsdisi Ambon. Parahnya lagi sebagian aparat keamanan terlibat dalam pusaran konflik dan dendam itu.[6]



B.     Latar Belakang Konflik
Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga Muslim baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan dan kelompok Kristen yang merasa termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang yang bisa kita runtut dimulai dari awal perkembangan kaum kapitalis modern pada zaman penjajahan Belanda.
Pengalaman masa demokrasi parlementer, menunjukkan betapa sulitnya menciptakan koalisi antarkelas yang mampu berkuasa dan sekaligus mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-an, ekonomi Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang mendorong pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua perkonomian negara-negara Asia Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya persaingan politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan pemerintah yang seringkali tidak tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1965-1967.
Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik yang terindikasikan hanya melalui pertumbuhan rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun setengah abad namun mengabaikan hak-hak sipil dan politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social cost yang sangat mahal berupa keterpurukan perekonomian Indonesia untuk yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan di banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang berlebihan dari pemerintah terhadap rakyat dengan dalih untuk menciptakan stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil pembangunan telah menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa hanya terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.
Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas bangsa Timur Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam benak warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga Kristen hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak” istimewa oleh penjajah Belanda.
Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara tidak langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.
Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari bumi pertiwi dimulailah suatu babak baru hubungan warga Muslim dan Kristen, kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah memarjinalkan posisi mereka suatu anggapan yang menurut penulis keliru, oleh karena warga Muslim telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih banyak baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach) yang sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat, demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga menghargai setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu saja terlebih-lebih dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intens yang terjadi justru adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan sangat dahsyat.[7]
Konflik yang terjadi secara masal dengan menggunakan simbol-simbol agama di Maluku tentunya tidak serta merta terjadi, meskipun ada propokator yang membakar masa untuk tujuan dan kepentingannya, namun tindakan tersebut hanya efektif jika memang terdapat prakondisai yang memungkinkan dan mencukupi bagi terjadinya konflik tersebut.
Dalam kaitannya dengan prakondisi konflik dimaksud, Ted Robert Gur menganggap setiap kekerasan yang terjadi pada masyarakat digolongkannya sebagai kekerasan politik. Kekerasan politik terjadi karena muncul ketidak sesuaian antara keinginan atau harapan dengan kemampuan, atau karena terjadinya kesenjangan didalam masyarakat. Kemampuan untuk mencapai keinginan dirasakan ada,  tapi upaya mencapainya digagalkan. Jadi, sebenarnya terjadi semacam perasaan adanya “perampasan”. Apakah anggapan kemampuan itu benar tidaklah penting, yang penting, rasa mampu itu ada, tetapi dihambat.
Kesenjangan dan perampasan itu kemudian berkembang dan menimbulkan prustasi dan ketidak puasan kolektif. Prustasi dan ketidak puasan kolektif  inilah yang merupakan faktor yang memungkinkan, dan jika sampai pada tingkat yang mencukupi, meledak dalam berbagai bentuk tindak kekerasan kolektif; misalnya: kekacauan, kerusuhan, konspirasi, teror, perang saudara, kudeta dan makar.
Ted Robert Gur mengingatkan bahwa kemajuan suatu golongan dalam masyarakat cenderung meningkatkan harapan golongan yang lain, terutama bila golongan tersebut menganggap dirinya sama dengan golongan yang berhasil maju itu. Jika manfaat sosial yang langka seperti status dan pengaruh politik tampak dan secara terang-terangan dimonopoli oleh suatu golongan, maka akan timbul prustasi dan ketidakpuasan kolektif itu. Perasaan ini cenderung akan berkurang jika dalam masyarakat tersedia berbagai kesempatan untuk berprestasi. Menurut Ted Gur betapapun besarnya tidak puas dan prustasi kolektif, namun itu tidak akan menjadi kekerasan kolektif jika tidak terjadi politisasi terhadapnya.[8]
C.    Kronologis Kerusuhan Di Ambon

1.      Awal Peristiwa
Peristiwa kerusuhan di Ambon (Maluku) diawali dengan terjadinya perkelahian antara salah seorang pemuda Kristen asal Ambon yang bernama J.L, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot dengan seorang pemuda Islam asal Bugis, NS, penganggur yang sering mabuk-mabukan dan sering melakukan pemalakan (istilah Ambon "patah" ) khususnya terhadap setiap sopir angkot yang melewati jalur Pasar Mardika-Batu Merah.
Saat itu tanggal 19 Januari 1999, masih dalam hari raya Idul Fitri (hari kedua), pemuda Bugis NS bersama temannya seorang pemuda Bugis lain bernama T, melakukan pemalakan di Batu Merah terhadap pemuda Kristen J.L selama beberapa kali ketika J.L mengendari angkotnya dari jurusan Mardika-Batu Merah. Namun permintaan kedua pemuda Bugis tersebut tidak dilayaninya, karena J.L belum mempunyai uang, mengingat belum ada penumpang yang dapat diangkutnya, karena hari itu hari raya Idul Fitri.
Permintaan dengan desakan yang sama dilakukan oleh pemuda NS hingga kali yang ketiga saat pemuda Ambon J.L berada di terminal Batu Merah, malah pemuda Bugis NS tidak segan-segan mengeluarkan badiknya untuk menikam pemuda Ambon J.L. Untunglah J.L sempat menangkisnya dengan mendorong pintu mobilnya.
Merasa dirinya terancam, pemuda J.L langsung pulang ke rumahnya mengambil parang (golok) dan kembali ke terminal Batu Merah. Disana ia masih menemukan pemuda Bugis NS bersama temannya T. Ia kemudian memburunya, dan NS kemudian berlari masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah.
NS kemudian ditahan oleh warga Batu Merah, dan ketika ia ditanya apa permaslahannya, maka ia (NS) menjawab bahwa, "ia akan dibunuh oleh orang Kristen".
Jawabannya ini kemudian yang memicu kerusuhan Ambon, dengan munculnya warga Muslim dimana-mana untuk menyerang warga Kristen dan sebaliknya juga warga Kristen yang muncul untuk mempertahankan diri.
  1. Pecahnya Kerusuhan Di Mana-Mana
Beberapa saat berselang atau sekitar 5 menit setelah peristiwa saling kejar-mengejar antara pemuda Muslim asal Bugis, NS dengan pemuda Kristen asal Ambon J.L, seperti ada komando, kerusuhan akhirnya pecah dimana-mana dalam kota Ambon.
Kira-kira jam 15.00 WIT ratusan masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah (lokasi dimana pemuda Bugis NS dikejar dan berteriak akan dibunuh oleh oleh orang Kristen) bangkit menyerang warga Kristen di kawasan Mardika (tetangga desa Batu merah) dengan menggunakan berbagai alat tajam (parang, panah, tombak dan lain-lain) dengan seragam dan berikat kepala putih. Mereka sempat melukai, merusak dan mebakar rumah-rumah warga Kristen Mardika. Demikian juga pada waktu yang bersamaan, beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale dan Waihaong ikut diserang oleh kelompok penyerang Muslim. Beberapa orang warga Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja yang terletak di kawasan Silale dirusak dan akhirnya dibakar oleh masa.
Dari lokasi-lokasi ini, kerusuhan berlanjut terus dan hanya berbeda waktu beberapa menit dari lokasi ke lokasi yang lain.
Warga Kristen yang mendiami lokasi Batu Gantung , Kudamati dan sekitarnya setelah mendengar penyerangan yang dilakukan oleh masa Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung, Kampung Ohiu, Waihaong dan Silale serta mendengar gereja Silale telah terbakar, bangkit amarahnya dan memberikan serangan balasan terhadap warga Muslim melalui pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah di kawasan Batu Gantung dan Kompleks Pohon Beringin, serta melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap berbagai kendaraan seperti becak, sepeda motor dan mobil.
  1. Saling Menyerang
Setelah terjadi kerusuhan pada beberapa lokasi seperti tersebut di atas yang berlangsung sejak siang hingga menjelang malam tanggal 19 Januari 1999, maka memasuki malam hingga pagi hari tanggal 20 Januari 1999, suasana terasa semakin mencekam dengan semakin berkembangnya isu telah terjadi pertikaian antar sesama warga Ambon (Maluku) yang bernuansa SARA, terutama diantara kelompok yang beragama Kristen dan Muslim.
Beberapa lokasi di dalam wilayah kota Ambon terus berkecamuk. Di lokasi Pohon Puleh, Tugu Trikora dan Anthony Rhebok hingga tengah malam tanggal 19 januari 1999, terlihat masa diantara kedua kubu saling berhadap-hadapan dan mencoba untuk saling melakukan penyerangan dengan pelemparan batu yang diteruskan dengan pengrusakan dan pembakaran sejumlah rumah diantara kedua belah pihak, pembakaran kendaraan (becak, sepeda motor dan mobil) dan pembakaran sebuah sekolah Al Hilal di Jl. Anthony Rhebok. Sementara itu di kawasan Batu Merah Tanjung yang dihuni oleh mayoritas warga Muslim, terjadi pengrusakan, pembakaran terhadap rumah-rumah dan pembantaian terhadap beberapa warga Kristen. Di lokasi inipun sebuah gereja sempat dirusak kemudian dibakar oleh masa Muslim. Sedangkan di lokasi Puleh (Karang Panjang) warga Kristen sempat merusak dan membakar rumah-rumah warga Muslim, demikian juga sebuah mesjid yang terletak di lokasi ini.
Menjelang pagi hari tanggal 20 Januari 1999, terjadi penyerangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh warga Kristen terhadap kompleks Pasar Gambus, kompleks Pasar Mardika dan kompleks Pasar Pelita yang berada di tengah-tengah jantung kota. Penyerangan ini dimulai dengan kosentrasi masa Muslim disekitar Jl. A. J. Patty menuju ke lapangan Merdeka Ambon yang diduga akan melakukan penyerangan ke gereja Maranatha (gereja Pusat Ambon).
Masa Kristen yang berada di sekitar kompleks gereja Maranatha merasa terancam, akhirnya melakukan penyerangan ke lokasi tersebut yang merupakan daerah yang mayoritas dihuni oleh warga muslim dengan jalan membakar habis kompleks tersebut. Diperkirakan banyak korban yang meninggal, karena terjebak kebakaran yang hingga saat ini sulit teridentifikasi.[9]

D.    Analisis

Indonesia yang merupakan salah satu negara besar di dunia ini, merupakan negara yang terkenal dengan pluralitas suku, agama, dan bahasa. Pluralitas yang ada di satu sisi merupakan anugerah dan kekayaan tak ternilai yang harus disyukuri, karena dapat dijadikan potensi yang positif bagi pembangunan dan kemajuan peradaban. Namun disisi lain, jika tidak dikelola dengan arif dan bijaksana, pluralitas tersebut bisa menjadi masalah dalam pembangunan negara. Dalam konteks kekinian, pluralitas menjadi sebuah istilah baru yang disebut “pluralisme”. Namun, pluralisme yang dimaksud di sini-sebagaimana diungkapkan oleh Alwi Shihab bukanlah sebuah relativisme agama, atau sebuah bentuk sinkretisasi agama-agama yang membentuk sebuah agama baru, namun lebih dilihat sebagai sebuah kesadaran antropogis yakni sebuah sikap atau kesadaran akan adanya pluralitas, baik agama maupun budaya, yang disertai sikap toleran dan terbuka terhadap dialog dengan pemeluk dan agama lain.
Namun dalam kenyataannya, dalam catatan sejarah kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama, kita menemukan begitu banyak fakta yang memilukan tentang konflik dan pembantaian karena faktor etnik dan agama. Dalam konteks kontemporer, kita dapat melihat bagaimana terjadinya pembantaian terhadap umat Islam di Bosnia dan Albania yang menewaskan ribuan manusia tak bedosa. Bahkan Di Indonesia sendiri, sebelum jatuhnya Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, Indonesia pernah dijadikan sebagai negara model bagi hidupnya harmonisasi dan toleransi antar umat beragama bagi negara-negara di dunia. Pecahnya konflik bernuansa agama yang terjadi di Ambon (tahun 1999) dan di Poso (tahun 2000) seakan mencoreng wajah Indonesia yang dikenal sebagai negara model dalam toleransi dan kerukunan antar-umat beragama.
Oleh karenanya pentingnya menghindari konflik sosial meluas ke konflik agama. Jika sampai meluas ke konflik agama, konflik akan sulit dipadamkan dan seringkali menelan banyak korban jiwa.


E.     Solusi Terhadap Konflik Ambon
Titik terang untuk menyelesaikan konflik di Ambon mulai terlihat dengan kesediaan dua pihak-yang terlibat dalam konflik-hadir mengikuti pertemuan pendahuluan di Makassar, Rabu (30/1). Rencananya, hasil pertemuan ini akan diteruskan dalam perundingan di Malino, Kabupaten Gowa, yang dijadwalkan berlangsung 5-7 Februari 2002.
Pertemuan tertutup dengan 15 orang perwakilan kelompok Nasrani dilakukan di Tanaberu Room, Hotel Losari Beach, Jalan Penghibur, dari pukul 16.20 sampai pukul 19.00. Sementara, pertemuan dengan kelompok Muslim dilakukan di Hotel Kenari mulai pukul 19.30. Hadir sebagai fasilitator pertemuan tersebut Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla, Gubernur Maluku Saleh Latuconsina, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) HZB Palaguna, dan Kepala Badan Intelijen Polri Inspektur Jenderal W Simatupang.
Jusuf Kalla menyatakan, bahwa dalam pertemuan tersebut sudah terlihat adanya kemajuan jika dibandingkan dengan hasil pertemuan informal sebelumnya yang dilakukannya bersama Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon akhir pekan lalu. Hal senada dinyatakan oleh Saleh Latuconsina, meski ia mengaku bahwa dalam pertemuan tertutup ini belum dibahas materi perundingan secara mendetail. Karena itu, keduanya mengaku optimis dengan penyelesaian konflik di Ambon ini.
Sumber Kompas dalam pertemuan tersebut menyatakan, kehadiran perwakilan kelompok tersebut ke Makassar untuk kemudian diteruskan ke meja perundingan di Malino awal Februari mendatang menunjukkan keinginan kedua belah pihak untuk menghentikan konflik. Diakuinya, sejauh ini, model pertemuan seperti yang dilakukan saat ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga diharapkan pertemuan ini akan menghasilkan perdamaian nyata di Ambon. Ia melukiskan pergulatan yang terjadi di Ambon, terutama dengan kesediaan para pemimpin dua kelompok yang bertikai itu untuk menyelesaikan konfliknya justru di luar Ambon.
Selain akan ditindaklanjuti dengan penyiapan agenda terperinci untuk dimajukan dalam perundingan nantinya, dalam pertemuan tersebut juga tertangkap keinginan untuk memperbesar titik temu dengan memperkecil peluang terjadinya konflik. Dalam pertemuan tertutup itu, empat agenda yang disepakati untuk dibahas meliputi masalah keamanan, sosial politik, sosial ekonomi, dan hukum. Karena itu, diharapkan selepas pertemuan pendahuluan itu akan muncul konsolidasi untuk kemudian mengarahkan perdamaian nyata di Ambon. [10]
Jadi, pada akhirnya konflik di ambon dapat di selesaikan dengan meja perundingan di malimo. Isi perjanjian malimo:
1.      Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan.
2.      Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu, aparat harus bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.
3.      Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan.
4.      Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka bagi semua orang berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan memperhatikan budaya setempat.
5.      Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa izin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak pihak luar yang mengacaukan Maluku wajib meninggalkan Maluku.
6.      Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari, Front Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa.
7.      Mengembalikan pengungsi secara bertahap ketempat semula sebelum konflik.
8.      Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar masa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar dari kesulitan.
9.      Sejalan dengan itu, segala bentuk pembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupan ekonomi dan sosial berjalan dengan baik.
10.  Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNI/POLRI sesuai fungsi dan tugasnya. Sejalan dengan itu, segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan fungsinya.
11.  Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan. Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan bersama. Karena itu, rekrutmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tragedi Maluku bermula dari peristiwa konflik biasa (kriminal murni) antara dua orang yang kebetulan berbeda agama. Peristiwa tersebut akhirnya menjadi pemicu konflik masal dan destruktif. Salig membakar, membunuh, menculik, menembak, dan menjarah adalah pemandangan keseharian hampir di senatero kota dan pulau Maluku pada saat konflik meningkat.
Peristiwa itu dengan cepat menjalar ke berbagai wilayah di Maluku, ke pulauan Sula, Haruku, saparua, Serang, Maluku tenggara, buru, Banda, dan hampir ke seluruh wilayah Maluku Utara. Harga satu kata yang mengandung juwama “dendam” lalu dilanjutkan secara tidak terduga dengan aksi balas dendam secara sporadis
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk meihat perdamain sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik, yakni tahap the eskalasi konflik dan interfensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Persiapan dan pelaksanaan tahapan problem solving approach dan tahapan peace building diketiga wilayah, cenderung belum tercapai terutama untuk kasus poso yang masih “jalan ditempat” pada tahap de-eskalasi dan interfensi keamanan.
Dalam konteks tertentu power sharing keterwakilan etnisitas agama  selain kemampuan, dalam penempatan bupati (pilkada) penetapan dimaluku dan Maluku utara bisa jadi dianggap sebagai upaya problem solving approach. upaya menghidupkan hibualamo, program untuk anak didaerah konflik, model desa multi kultural wayame, di Ambon, program vocal point depsos dan depag, jembatan perdamaian dan forum komunikasi antar umat bergama, diharapkan bisa menjadi embrio tahapan peace building dan berdampak nyata dikemudian hari.[12]


DAFTAR PUSTAKA
Gardamai suara, Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono, Narashi, cet. pertama 2009, Yogjakarta.
John Pieris, Tragedi Maluku, Sebuah Krisis Peradaban, Yayasan Obor Indonesia, 2004, Jakarta.
Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z., 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985, Bandung.
Seeman, Marvin, On the Meaning of Alienation, dalam Johnson P.Doyle –terjemahan Robert M.Z. Lawang, Gramedia, 1986, Jakarta.
Yayasan Salawaku , Kronologis Kerusuhan Maluku Ambon Bagian Pertam, 09/15/99 01:33 PM GMT, di unduh http://yayasan-salawaku-maluku.blogspot.sg/.
Liddle, R., William, Menjawab Tantangan Masa Reformasi, Artikel Kompas, 8-9 Juni 2000.
http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/tinjauan-konflik-sosial-ambon-berdasarkan-teori-konflik-karl-marx/
Papua Menggugat, LIPI, Jurnal Penelitian Politik, vol 3, No 1, 2006.
Tim Sosiologi, Sosiologi 2, suatu kajian Social Masyarakat, Ghalia Indonesia, cetakan ke 2, 2007.
http://www.oocities.org/waai67/kompas310102.htm
http://labholonk.blogspot.com/2008/05/perjanjian-damai-maluku-di-malino.html



[1] Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z., 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta hlm. 9

[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 21
[4] Seeman, Marvin, On the Meaning of Alienation, dalam Johnson P.Doyle –terjemahan Robert M.Z. Lawang,Gramedia, Jakarta, 1986. di unduh http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/tinjauan-konflik-sosial-ambon-berdasarkan-teori-konflik-karl-marx/
[5] Tim Sosiologi, Sosiologi 2, suatu kajian Sosial Masyarakat, cetakan ke 2, 2007, Ghalia Indonesia, hal 38
[6] Gardamai suara, biografi politik susilo bambang yudhoyono, Narashi, Yogjakarta, cet pertama 2009. Hal 60
[7] Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985 di unduh http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/tinjauan-konflik-sosial-ambon-berdasarkan-teori-konflik-karl-marx/
[8] John Pieris, Tragedi Maluku, sebuah krisis peradaban, Yayasan Obor Indonesia, 2004, Jakarta, hal 4-5
[9] Yayasan Salawaku , Kronologis Kerusuhan Maluku Ambon Bagian Pertam, 09/15/99 01:33 PM GMT, di unduh http://yayasan-salawaku-maluku.blogspot.sg/.
[10] http://www.oocities.org/waai67/kompas310102.htm             
[11] http://labholonk.blogspot.com/2008/05/perjanjian-damai-maluku-di-malino.html
[12] Papua Menggugat, Lipi, Jurnal Penelitian Politik, vol 3, No 1, 2006, hal 88

No comments:

Post a Comment