BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan
tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik
dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan
demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera
menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan
terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar.
Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon,
Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara
untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.
Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik yang didasarkan
kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan
mempunyai implikasi yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.
Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama,
khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di banyak daerah dari
serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto dan
berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.
Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang
berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur,
buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.
B.
Rumusan
Maslah
1. apa yang melatarbelakangi terjadinya
konflik dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang
dikemukakan oleh Karl Marx.
2. sesungguhnya penyebab-penyebab
konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan
pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah kesan itu sebetulnya hanya
merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau material semata.
C.
Tujuan
1. Mengetahui latar belakang konflik
dan pemecahannya berdasarkan teori max
2. Mengetahui terjadinya konflik di
ambon, dan mengidentifikasi asal permasalahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan teori
a. Pengertian konflik
Menurut Webster
(1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu
“perkelahian, peperangan, atau perjuangan” – yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya
“ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan
lain-lai”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek
psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik
itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu luas
sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.[1] Bagi Pruitt dan
Rubin, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak
yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.[2]
Dalam hal ini
konflik menggunakan istilah “kepentingan”, sementara orang lain menggunakan
istilah “nilai-nilai” (values) atau “kebutuhan” (needs).
Kepentingan, menurut Raven dan Rubin (1983), adalah perasaan orang mengenai apa
yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam
pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan
niat (intensi)-nya.[3]
b. Kajian Teori
Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya
terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan
sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan
sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada
saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur
sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga
konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga Kristen di Maluku,
ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka,
melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara
kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka
dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang
sebagai tokoh utama dan yang paling kontroversial yang menjelaskan
sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial
secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama
terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan
atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan
politik.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan,
yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah,
pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi
yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh
yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk
kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan
struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk
konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan
upaya-upaya pihak yang dominan dalam hal ini Islam untuk memaksakan pembenaran
atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk
mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya,
menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya
mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan
mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap
teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang
tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan
adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan
di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi
kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai
pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam
konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara
kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok
Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal sekurang-kurangnya anggapan
mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan
gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah
runcingnya perbedaan yang ada.[4]
Dalam
masyarakat Indonesia yang majemuk rawan terhadap terjadinya konflik sosial,
karena secara garis besar struktur sosial masyarakat Indonesia terbagi kedalam
beberapa suku bangsa, agama, ataupun golongan yang beragam.
Menurut
J. Ranjabar hal-hal yang dapat terjadinya konflik pada masyarakat Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Apabila
terjadi dominasi suatu kelompok terhadap kelompaok lain, contoh adalah konflik
yang terjadi di Aceh dan Papua.
2. Apabila
terdapat persaingan dalam mendapatkan mata pencaharian hidup antara kelompok
yang berlainan suku bangsa, contoh konflik yang terjadi di Sambas.
3. Apabila
terjadi pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari warga sebuah suku terhadap warga
suku bangsa lain. Contoh konflik yang terjadi di Sampit.
4.
Apabila terdapat
potensi konflik yang terpendam, yang telah bermusuhan secara adat. Contohnya
konflik antar suku di pedalaman Papua.[5]
Tetapi
selain ari factor-faktor tersebut Biangkeladi ditenggarai masalah sosial,
ekonomi dan politik lokal yang karut marut akan tetapi, menurut Des Alwi mantan
anggota tim khusus untuk ambon yang dibentuk oleh pemerintah BJ Habibi, faktor
balas dendam merupakan penyebab yang lebih utama, sehingga membuat runyam
konsdisi Ambon. Parahnya lagi sebagian aparat keamanan terlibat dalam pusaran
konflik dan dendam itu.[6]
B. Latar
Belakang Konflik
Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga
Muslim baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap relatif baik
karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh tahun terakhir
lebih banyak berperan dalam pemerintahan dan kelompok Kristen yang merasa
termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah
yang panjang yang bisa kita runtut dimulai dari awal perkembangan kaum
kapitalis modern pada zaman penjajahan Belanda.
Pengalaman masa demokrasi parlementer, menunjukkan betapa
sulitnya menciptakan koalisi antarkelas yang mampu berkuasa dan sekaligus
mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-an, ekonomi
Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang mendorong
pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua perkonomian
negara-negara Asia Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya persaingan
politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan pemerintah yang seringkali tidak
tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1965-1967.
Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik yang
terindikasikan hanya melalui pertumbuhan rata-rata diatas enam persen
selama kurang lebih dalam kurun setengah abad namun mengabaikan hak-hak
sipil dan politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social
cost yang sangat mahal berupa keterpurukan perekonomian Indonesia untuk
yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan di
banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat
yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang
berlebihan dari pemerintah terhadap rakyat dengan dalih untuk menciptakan
stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil pembangunan telah
menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa hanya
terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.
Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi
terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas bangsa Eropa,
kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas bangsa Timur Asing dan Pribumi
non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam benak warga
Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga Kristen
hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak” istimewa oleh
penjajah Belanda.
Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan
yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara tidak langsung menyebabkan
warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai pedagang, ditambah
dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah
menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.
Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari bumi pertiwi
dimulailah suatu babak baru hubungan warga Muslim dan Kristen, kebijakan yang
dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah memarjinalkan
posisi mereka suatu anggapan yang menurut penulis keliru, oleh karena warga Muslim
telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan
melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih banyak baik dalam
ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah
menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap warga Islam yang teredam
selama rejim orde baru berkuasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru
dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach) yang sangat
berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-orang
yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat,
demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh
tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah
kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga menghargai
setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam
tersebut tidak akan terpupus begitu saja terlebih-lebih dengan dilakukannya
pendekatan keamanan yang sangat intens yang terjadi justru adalah
penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan
sangat dahsyat.[7]
Konflik
yang terjadi secara masal dengan menggunakan simbol-simbol agama di Maluku
tentunya tidak serta merta terjadi, meskipun ada propokator yang membakar masa
untuk tujuan dan kepentingannya, namun tindakan tersebut hanya efektif jika
memang terdapat prakondisai yang memungkinkan dan mencukupi bagi terjadinya
konflik tersebut.
Dalam
kaitannya dengan prakondisi konflik dimaksud, Ted Robert Gur menganggap setiap
kekerasan yang terjadi pada masyarakat digolongkannya sebagai kekerasan politik.
Kekerasan politik terjadi karena muncul ketidak sesuaian antara keinginan atau
harapan dengan kemampuan, atau karena terjadinya kesenjangan didalam
masyarakat. Kemampuan untuk mencapai keinginan dirasakan ada, tapi upaya mencapainya digagalkan. Jadi,
sebenarnya terjadi semacam perasaan adanya “perampasan”. Apakah anggapan
kemampuan itu benar tidaklah penting, yang penting, rasa mampu itu ada, tetapi
dihambat.
Kesenjangan
dan perampasan itu kemudian berkembang dan menimbulkan prustasi dan ketidak
puasan kolektif. Prustasi dan ketidak puasan kolektif inilah yang merupakan faktor yang
memungkinkan, dan jika sampai pada tingkat yang mencukupi, meledak dalam
berbagai bentuk tindak kekerasan kolektif; misalnya: kekacauan, kerusuhan,
konspirasi, teror, perang saudara, kudeta dan makar.
Ted Robert Gur
mengingatkan bahwa kemajuan suatu golongan dalam masyarakat cenderung
meningkatkan harapan golongan yang lain, terutama bila golongan tersebut
menganggap dirinya sama dengan golongan yang berhasil maju itu. Jika manfaat
sosial yang langka seperti status dan pengaruh politik tampak dan secara
terang-terangan dimonopoli oleh suatu golongan, maka akan timbul prustasi dan
ketidakpuasan kolektif itu. Perasaan ini cenderung akan berkurang jika dalam
masyarakat tersedia berbagai kesempatan untuk berprestasi. Menurut Ted Gur
betapapun besarnya tidak puas dan prustasi kolektif, namun itu tidak akan
menjadi kekerasan kolektif jika tidak terjadi politisasi terhadapnya.[8]
C.
Kronologis Kerusuhan Di Ambon
1.
Awal Peristiwa
Peristiwa kerusuhan di Ambon (Maluku) diawali dengan
terjadinya perkelahian antara salah seorang pemuda Kristen asal Ambon yang
bernama J.L, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot dengan
seorang pemuda Islam asal Bugis, NS, penganggur yang sering mabuk-mabukan
dan sering melakukan pemalakan (istilah Ambon "patah" ) khususnya
terhadap setiap sopir angkot yang melewati jalur Pasar Mardika-Batu Merah.
Saat itu tanggal 19 Januari 1999,
masih dalam hari raya Idul Fitri (hari kedua), pemuda Bugis NS bersama
temannya seorang pemuda Bugis lain bernama T, melakukan pemalakan di
Batu Merah terhadap pemuda Kristen J.L selama beberapa kali ketika J.L
mengendari angkotnya dari jurusan Mardika-Batu Merah. Namun permintaan kedua
pemuda Bugis tersebut tidak dilayaninya, karena J.L belum mempunyai
uang, mengingat belum ada penumpang yang dapat diangkutnya, karena hari itu
hari raya Idul Fitri.
Permintaan dengan desakan yang sama
dilakukan oleh pemuda NS hingga kali yang ketiga saat pemuda Ambon J.L
berada di terminal Batu Merah, malah pemuda Bugis NS tidak segan-segan
mengeluarkan badiknya untuk menikam pemuda Ambon J.L. Untunglah J.L
sempat menangkisnya dengan mendorong pintu mobilnya.
Merasa dirinya terancam, pemuda J.L
langsung pulang ke rumahnya mengambil parang (golok) dan kembali ke terminal
Batu Merah. Disana ia masih menemukan pemuda Bugis NS bersama temannya T.
Ia kemudian memburunya, dan NS kemudian berlari masuk ke kompleks pasar
Desa Batu Merah.
NS kemudian ditahan oleh warga Batu Merah, dan ketika ia
ditanya apa permaslahannya, maka ia (NS) menjawab bahwa, "ia
akan dibunuh oleh orang Kristen".
Jawabannya ini kemudian yang memicu
kerusuhan Ambon, dengan munculnya warga Muslim dimana-mana untuk menyerang
warga Kristen dan sebaliknya juga warga Kristen yang muncul untuk
mempertahankan diri.
- Pecahnya Kerusuhan Di Mana-Mana
Beberapa saat berselang atau sekitar
5 menit setelah peristiwa saling kejar-mengejar antara pemuda Muslim asal
Bugis, NS dengan pemuda Kristen asal Ambon J.L, seperti ada
komando, kerusuhan akhirnya pecah dimana-mana dalam kota Ambon.
Kira-kira jam 15.00 WIT ratusan masa
Muslim muncul dari Desa Batu Merah (lokasi dimana pemuda Bugis NS
dikejar dan berteriak akan dibunuh oleh oleh orang Kristen) bangkit menyerang
warga Kristen di kawasan Mardika (tetangga desa Batu merah) dengan menggunakan
berbagai alat tajam (parang, panah, tombak dan lain-lain) dengan seragam dan
berikat kepala putih. Mereka sempat melukai, merusak dan mebakar rumah-rumah
warga Kristen Mardika. Demikian juga pada waktu yang bersamaan, beberapa lokasi
pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale dan
Waihaong ikut diserang oleh kelompok penyerang Muslim. Beberapa orang warga
Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja yang terletak di
kawasan Silale dirusak dan akhirnya dibakar oleh masa.
Dari lokasi-lokasi ini, kerusuhan
berlanjut terus dan hanya berbeda waktu beberapa menit dari lokasi ke lokasi
yang lain.
Warga Kristen yang mendiami lokasi
Batu Gantung , Kudamati dan sekitarnya setelah mendengar penyerangan yang
dilakukan oleh masa Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung,
Kampung Ohiu, Waihaong dan Silale serta mendengar gereja Silale telah terbakar,
bangkit amarahnya dan memberikan serangan balasan terhadap warga Muslim melalui
pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah di kawasan Batu Gantung dan Kompleks
Pohon Beringin, serta melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap berbagai
kendaraan seperti becak, sepeda motor dan mobil.
- Saling Menyerang
Setelah terjadi kerusuhan pada
beberapa lokasi seperti tersebut di atas yang berlangsung sejak siang hingga
menjelang malam tanggal 19 Januari 1999, maka memasuki malam hingga pagi hari
tanggal 20 Januari 1999, suasana terasa semakin mencekam dengan semakin
berkembangnya isu telah terjadi pertikaian antar sesama warga Ambon (Maluku)
yang bernuansa SARA, terutama diantara kelompok yang beragama Kristen
dan Muslim.
Beberapa lokasi di dalam wilayah
kota Ambon terus berkecamuk. Di lokasi Pohon Puleh, Tugu Trikora dan Anthony
Rhebok hingga tengah malam tanggal 19 januari 1999, terlihat masa diantara
kedua kubu saling berhadap-hadapan dan mencoba untuk saling melakukan
penyerangan dengan pelemparan batu yang diteruskan dengan pengrusakan dan
pembakaran sejumlah rumah diantara kedua belah pihak, pembakaran kendaraan
(becak, sepeda motor dan mobil) dan pembakaran sebuah sekolah Al Hilal di Jl.
Anthony Rhebok. Sementara itu di kawasan Batu Merah Tanjung yang dihuni oleh
mayoritas warga Muslim, terjadi pengrusakan, pembakaran terhadap rumah-rumah
dan pembantaian terhadap beberapa warga Kristen. Di lokasi inipun sebuah gereja
sempat dirusak kemudian dibakar oleh masa Muslim. Sedangkan di lokasi Puleh
(Karang Panjang) warga Kristen sempat merusak dan membakar rumah-rumah warga
Muslim, demikian juga sebuah mesjid yang terletak di lokasi ini.
Menjelang pagi hari tanggal 20
Januari 1999, terjadi penyerangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh
warga Kristen terhadap kompleks Pasar Gambus, kompleks Pasar Mardika dan kompleks
Pasar Pelita yang berada di tengah-tengah jantung kota. Penyerangan ini dimulai
dengan kosentrasi masa Muslim disekitar Jl. A. J. Patty menuju ke lapangan
Merdeka Ambon yang diduga akan melakukan penyerangan ke gereja Maranatha
(gereja Pusat Ambon).
Masa Kristen yang berada di sekitar
kompleks gereja Maranatha merasa terancam, akhirnya melakukan penyerangan ke
lokasi tersebut yang merupakan daerah yang mayoritas dihuni oleh warga muslim
dengan jalan membakar habis kompleks tersebut. Diperkirakan banyak korban yang
meninggal, karena terjebak kebakaran yang hingga saat ini sulit
teridentifikasi.[9]
D. Analisis
Indonesia yang
merupakan salah satu negara besar di dunia ini, merupakan negara yang terkenal
dengan pluralitas suku, agama, dan bahasa. Pluralitas yang ada di satu sisi
merupakan anugerah dan kekayaan tak ternilai yang harus disyukuri, karena dapat
dijadikan potensi yang positif bagi pembangunan dan kemajuan peradaban. Namun
disisi lain, jika tidak dikelola dengan arif dan bijaksana, pluralitas tersebut
bisa menjadi masalah dalam pembangunan negara. Dalam konteks kekinian, pluralitas menjadi sebuah istilah
baru yang disebut “pluralisme”. Namun, pluralisme yang dimaksud di sini-sebagaimana
diungkapkan oleh Alwi Shihab bukanlah sebuah relativisme agama, atau sebuah bentuk
sinkretisasi agama-agama yang membentuk sebuah agama baru, namun lebih dilihat
sebagai sebuah kesadaran antropogis yakni sebuah sikap atau kesadaran akan
adanya pluralitas, baik agama maupun budaya, yang disertai sikap toleran dan
terbuka terhadap dialog dengan pemeluk dan agama lain.
Namun dalam
kenyataannya, dalam catatan sejarah kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan
hubungan antar umat beragama, kita menemukan begitu banyak fakta yang memilukan
tentang konflik dan pembantaian karena faktor etnik dan agama. Dalam konteks
kontemporer, kita dapat melihat bagaimana terjadinya pembantaian terhadap umat
Islam di Bosnia dan Albania yang menewaskan ribuan manusia tak bedosa. Bahkan
Di Indonesia sendiri, sebelum jatuhnya Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto,
Indonesia pernah dijadikan sebagai negara model bagi hidupnya harmonisasi dan
toleransi antar umat beragama bagi negara-negara di dunia. Pecahnya konflik
bernuansa agama yang terjadi di Ambon (tahun 1999) dan di Poso (tahun 2000) seakan
mencoreng wajah Indonesia yang dikenal sebagai negara model dalam toleransi dan
kerukunan antar-umat beragama.
Oleh karenanya pentingnya menghindari konflik sosial
meluas ke konflik agama. Jika sampai meluas ke konflik agama, konflik akan
sulit dipadamkan dan seringkali menelan banyak korban jiwa.
E.
Solusi Terhadap Konflik Ambon
Titik terang
untuk menyelesaikan konflik di Ambon mulai terlihat dengan kesediaan dua
pihak-yang terlibat dalam konflik-hadir mengikuti pertemuan pendahuluan di
Makassar, Rabu (30/1). Rencananya, hasil pertemuan ini akan diteruskan dalam
perundingan di Malino, Kabupaten Gowa, yang dijadwalkan berlangsung 5-7
Februari 2002.
Pertemuan
tertutup dengan 15 orang perwakilan kelompok Nasrani dilakukan di Tanaberu
Room, Hotel Losari Beach, Jalan Penghibur, dari pukul 16.20 sampai pukul 19.00.
Sementara, pertemuan dengan kelompok Muslim dilakukan di Hotel Kenari mulai
pukul 19.30. Hadir sebagai fasilitator pertemuan tersebut Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla, Gubernur Maluku Saleh
Latuconsina, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) HZB Palaguna, dan Kepala Badan
Intelijen Polri Inspektur Jenderal W Simatupang.
Jusuf Kalla
menyatakan, bahwa dalam pertemuan tersebut sudah terlihat adanya kemajuan jika
dibandingkan dengan hasil pertemuan informal sebelumnya yang dilakukannya
bersama Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo
Bambang Yudhoyono di Ambon akhir pekan lalu. Hal senada dinyatakan oleh Saleh
Latuconsina, meski ia mengaku bahwa dalam pertemuan tertutup ini belum dibahas
materi perundingan secara mendetail. Karena itu, keduanya mengaku optimis
dengan penyelesaian konflik di Ambon ini.
Sumber Kompas
dalam pertemuan tersebut menyatakan, kehadiran perwakilan kelompok tersebut ke
Makassar untuk kemudian diteruskan ke meja perundingan di Malino awal Februari
mendatang menunjukkan keinginan kedua belah pihak untuk menghentikan konflik.
Diakuinya, sejauh ini, model pertemuan seperti yang dilakukan saat ini belum
pernah dilakukan sebelumnya, sehingga diharapkan pertemuan ini akan
menghasilkan perdamaian nyata di Ambon. Ia melukiskan pergulatan yang terjadi
di Ambon, terutama dengan kesediaan para pemimpin dua kelompok yang bertikai
itu untuk menyelesaikan konfliknya justru di luar Ambon.
Selain akan ditindaklanjuti dengan penyiapan agenda
terperinci untuk dimajukan dalam perundingan nantinya, dalam pertemuan tersebut
juga tertangkap keinginan untuk memperbesar titik temu dengan memperkecil
peluang terjadinya konflik. Dalam pertemuan tertutup itu, empat agenda yang
disepakati untuk dibahas meliputi masalah keamanan, sosial politik, sosial
ekonomi, dan hukum. Karena itu, diharapkan selepas pertemuan pendahuluan itu
akan muncul konsolidasi untuk kemudian mengarahkan perdamaian nyata di Ambon. [10]
Jadi, pada akhirnya konflik di ambon dapat di selesaikan
dengan meja perundingan di malimo. Isi
perjanjian malimo:
1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan
perselisihan.
2.
Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak.
Karena itu, aparat harus bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.
3.
Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik
Maluku Selatan.
4.
Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
maka bagi semua orang berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan
memperhatikan budaya setempat.
5.
Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar
bersenjata tanpa izin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata atau
dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak pihak luar
yang mengacaukan Maluku wajib meninggalkan Maluku.
6.
Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu
dibentuk tim investigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19
Januari, Front Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus,
dan pengalihan agama secara paksa.
7.
Mengembalikan pengungsi secara bertahap ketempat semula
sebelum konflik.
8.
Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana
ekonomi dan sarana umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta
perumahan rakyat agar masa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan
keluar dari kesulitan.
9.
Sejalan dengan itu, segala bentuk pembatasan ruang gerak
penduduk dibuka sehingga kehidupan ekonomi dan sosial berjalan dengan baik.
10. Dalam upaya menjaga ketertiban dan
keamanan seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan adanya kekompakan dan
ketegasan untuk TNI/POLRI sesuai fungsi dan tugasnya. Sejalan dengan itu,
segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan fungsinya.
11. Untuk menjaga hubungan dan
harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen maka segala
upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang dan
ketentuan lain tanpa pemaksaan. Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas
Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan bersama. Karena itu, rekrutmen dan
kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan prinsip keadilan dan tetap
memenuhi syarat keadilan.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tragedi
Maluku bermula dari peristiwa konflik biasa (kriminal murni) antara dua orang
yang kebetulan berbeda agama. Peristiwa tersebut akhirnya menjadi pemicu
konflik masal dan destruktif. Salig membakar, membunuh, menculik, menembak, dan
menjarah adalah pemandangan keseharian hampir di senatero kota dan pulau Maluku
pada saat konflik meningkat.
Peristiwa itu dengan
cepat menjalar ke berbagai wilayah di Maluku, ke pulauan Sula, Haruku, saparua,
Serang, Maluku tenggara, buru, Banda, dan hampir ke seluruh wilayah Maluku
Utara. Harga satu kata yang mengandung juwama “dendam” lalu dilanjutkan secara
tidak terduga dengan aksi balas dendam secara sporadis
Resolusi konflik
merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk meihat
perdamain sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik
dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik, yakni tahap the
eskalasi konflik dan interfensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Persiapan
dan pelaksanaan tahapan problem solving approach dan tahapan peace building
diketiga wilayah, cenderung belum tercapai terutama untuk kasus poso yang masih
“jalan ditempat” pada tahap de-eskalasi dan interfensi keamanan.
Dalam konteks
tertentu power sharing keterwakilan etnisitas agama selain kemampuan,
dalam penempatan bupati (pilkada) penetapan dimaluku dan Maluku utara bisa jadi
dianggap sebagai upaya problem solving approach. upaya menghidupkan hibualamo,
program untuk anak didaerah konflik, model desa multi kultural wayame, di
Ambon, program vocal point depsos dan depag, jembatan perdamaian dan forum
komunikasi antar umat bergama, diharapkan bisa menjadi embrio tahapan peace
building dan berdampak nyata dikemudian hari.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Gardamai suara, Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono, Narashi,
cet. pertama 2009, Yogjakarta.
John Pieris, Tragedi Maluku, Sebuah Krisis Peradaban, Yayasan Obor Indonesia, 2004, Jakarta.
Pruitt, Dean G.
dan Rubin, Jeffrey Z., 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur
Bandung, Cetakan ke-8, 1985, Bandung.
Seeman, Marvin, On the Meaning of Alienation, dalam
Johnson P.Doyle –terjemahan Robert M.Z. Lawang, Gramedia, 1986, Jakarta.
Yayasan Salawaku , Kronologis
Kerusuhan Maluku Ambon Bagian Pertam, 09/15/99
01:33 PM GMT, di unduh http://yayasan-salawaku-maluku.blogspot.sg/.
Liddle, R., William, Menjawab Tantangan Masa Reformasi,
Artikel Kompas, 8-9 Juni 2000.
http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/tinjauan-konflik-sosial-ambon-berdasarkan-teori-konflik-karl-marx/
Papua
Menggugat, LIPI, Jurnal Penelitian Politik, vol 3, No 1, 2006.
Tim
Sosiologi, Sosiologi 2, suatu kajian Social
Masyarakat, Ghalia Indonesia, cetakan ke 2, 2007.
http://www.oocities.org/waai67/kompas310102.htm
http://labholonk.blogspot.com/2008/05/perjanjian-damai-maluku-di-malino.html
Yogyakarta hlm. 9
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 21
[4] Seeman,
Marvin, On the Meaning of Alienation, dalam Johnson P.Doyle –terjemahan
Robert M.Z. Lawang,Gramedia, Jakarta, 1986. di unduh http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/tinjauan-konflik-sosial-ambon-berdasarkan-teori-konflik-karl-marx/
[5] Tim Sosiologi, Sosiologi 2, suatu kajian Sosial Masyarakat, cetakan
ke 2, 2007, Ghalia Indonesia, hal 38
[6] Gardamai suara, biografi politik susilo bambang yudhoyono, Narashi,
Yogjakarta, cet pertama 2009. Hal 60
[7]
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum
Antar Golongan, Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985 di unduh http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/tinjauan-konflik-sosial-ambon-berdasarkan-teori-konflik-karl-marx/
[8] John Pieris, Tragedi Maluku, sebuah krisis peradaban, Yayasan Obor Indonesia, 2004, Jakarta, hal
4-5
[9]
Yayasan Salawaku , Kronologis
Kerusuhan Maluku Ambon Bagian Pertam, 09/15/99
01:33 PM GMT, di unduh http://yayasan-salawaku-maluku.blogspot.sg/.
[10] http://www.oocities.org/waai67/kompas310102.htm
[11]
http://labholonk.blogspot.com/2008/05/perjanjian-damai-maluku-di-malino.html
[12]
Papua Menggugat, Lipi, Jurnal Penelitian Politik, vol 3, No 1, 2006, hal 88
No comments:
Post a Comment