PopAds

Saturday 24 October 2015

HUBUNGAN AGAMA DENGAN SAINS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
Isu hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan pertentangan dan ketidaksesuaian Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antar keduanya. Kalangan lain beranggapan bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda, memiliki wilayah masing-masing yang terpisah baik segi objek formal-material (ontologi), metode penelitian (epistemologi), serta peran yang dimainkan (aksiologi).
 Di akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci). Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”. Yang menjadi pemasalahannya adakah titik temu antara agma dan sains.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian agama dan sains?
2.      Apa permasalahan agama dan sains?
3.      Bagimna hubungan agama dan sains?

C.     Tujuan
1.      Memahami pengertian agama dan sains
2.      Mengetahui permasalahan dalam agama dan sains
3.      Memahami hubungan agama dan sains
                                                                              



BAB II
PEMBAHSAN
A.    Pengertian Sains
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dan ilmu sangat berbeda maknanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga menghasilkan kebenaran yang obyektif serta telah diuji kebenarannya secara ilmiah, sedangkan pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh manusia atau segala sesuatu yang diperoleh manusia baik melalui pancaindra, intuisi, pengalaman, maupun pirasat.
Jadi ilmu pengetahuan (sains) adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai kumpulan rasionalisasi kolektif insani atau sebagai pengetahuan yang sudah sistematis.[1]
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dijelaskan sains adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
B.     Pengertian Agama
Dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dekenal pula kata din berasal dari Bahasa Arab dan kata religi dari Bahsa Eropa, sedangkan agama berasal dari Bahasa Sangsakerta.
Dalam kamus An English Readher’s Dictionary, A. S Homby dan Parnwell (1989) mengartikan religi sebagai berikut.
Ø  Belief in god as creator and control, of the universe (percaya kepada tuhan sebagi penciptan dan pengatur alam semesta),
Ø  System of faith and worship based on such belief (sitem iman dan penyembahan berdasarkan atas kepercayaan tertentu).[2]
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Menurut Emile Durkheim suatu sistem interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarkat dalam alam semesta.[3]
Menurut Insklopedi Indonesia I (Ed. Hasan shadily), istilah agama berasal dari bahasa sangsakerta: a berarti tidak, gama berarti pergi atau jalan dan yang a berarti bersifat atau keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal.[4]
Menurut Sidi Gazalba (1991) agama adalah kepercayaan pada hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib, hubungan yang menyatakan diri dalam bentuk serta sistem kultus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[5]
C.    Permasalahan Dalam Wilayah Sains Dan Agama
1.      Permasalahan Sains
Pertama, berbagai kritik mendasar terhadap dunia ilmu, terutama dari sudut filsafat ilmu, telah kian tegas memperlihatkan bahwa ilmu sesunguhnya mengandung persoalan-persoaln serius, baik pada tingkat asumsi-asumsi dasar metodologis maun inplikasi epistemologis maupun ontologis. Feyerabend telah menunjukan bahawa pada kenyataannya, ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidaklah bergantung pada metodologi umum atau hukum tertentu. Thomas Kuhn memperlihatkan bahwa diterima atau tidakntya suatu paradigma dalam dunia ilmu ternyata tak sepenuhnya ditentukan oleh alasan logis, tetapi banyak pula dipengaruhi unsur sosiologi dan psikologis. Dan sejak munculnya teori relativitas, fisika kuantum, dan teori ketidakpastian, konsep tentang objektivitas dan obsevasi menjadi sebuah problematik, sebab menjadi jelas dalam kegiatan ilmiah peran subjek dan persepektif teoretis sangatlah menentukan pula.
Kedua, hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata juga bisa ambivalen. Disatu pihak mampu merekayasa realitas menjadi makin sesuai dengan ambisi manusia, dipihak lain epek sampingnya pun bisa sangat desdruktif dan menimbulkan persoalan etis serius. Rekayasa biologi telah mengakibatkan  begitu banyak makan yang kita konsumsi mengandung zat-zat racun.
Ketiga, perjalanan ilmu hingga kini ternyata tekah mencapai wilayah spiritual, entah dalam bentuk spiritual quotient (SQ) dalam psikologi, Quantum-self dalam fisika baru, atau pola kognisi yang autopoetik dalam cognitive-science, dan seterusnya. Sehingga kini wilaayah ilmu dimungkinkan untuk berdialog denga khazanah agama, setelah lama antar keduannya sulit untuk berinteraksi.
Keempat, dominasi ilmu pengetahuan telah mengakibatkan  kecenderungan dominannya pola pikir instrumrntal-pragmatis dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan orientasi instrumrntal-pragmatis telah cukup parah merasuki lembaga-lembaga pendidikan, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Persekolahan sekarang lebih mirip lembaga pelatihan pertukangan ketimbang lembaga pendidikan yang menjadikan manusia lebih manusiawi.
2.      Permasalahan Dalam Agama
Disisi lain, kehidupan beragama pun mengalami banyak persoalan. Pertama, tendensi-tendensi deskruptif kini banyak bermunculan dalam kehidupan beragama, entah dalam bentuk eksklusuvisme kelompok, sikap moralitas berlebihan, konsumerisme symbol yang picik dan dangkal, atau ritualisme yang fanatik. Kedua, secara intern agama-agama pun mengalani kebingungan dogmatis akibat makin suburnya kecenderungan multitafsir. Ketiga, mentalitas superior masih demikian kuat becokol dikalangan orang-orang beragama sehingga tendensi hendak saling menaklukan atau merasa saling terancam. De facto agama terasa tak lagi membawa efek segnifikan dalam memeperbaiki kehidupan.
Selain mengalami persoalan intern masing-masing, ilmu dan agama pun mesti menghadapi persoalan global bersama  yang ditandai dengan permisivisme pasar yang makin mencemaskan; ketidak adilan struktural pada tingkat gelobal yang makin menimbulkan gejolak-gejolak berupa terorisme atau peperangan; perinsip survival of the pittest yang makin menguat pada tataran praksis; dan berbagai kecenderungan penghancuran diri entah dalanm berupa perusakan ekologis, pengembangan rekayasa genetik, ataupun tendensi bunuh diri.[6]
D.    Hubungan Sains Dengan Agama
Setelah kita melihat perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai persoalan yang meraka hadapi, maka kita melihat kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, ilmu membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa cara.
Pertama, kesadaran kritis dan sikap dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk menghancurkan agama, melaikan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.
Sebaliknya, agama dapat membantu ilmu untuk tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkreat yang mesti dihadapinya. Pertama, agama dapat mengigatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenarana, kedua, agama dapat mengingatkan ilmu untuk senantias membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan diatas kemajemukan pengetahuan itu sendiri. Ketiga, agama dapat membantu ilmu mempedalam penjelajahan diwilayah adikodrati atau supranatural. Keempat, agama bisa menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah terjerusu kedalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang mengnaggap bahwa sesuat dianggap bernilai sejauh ada manfaatnya dan bisa digunakan untuk kepentingan kita.
Maka, kalau kita bicara integrasi antara keduanya, agaknya itu mesti tetap dibayangkan sebagai sekedar interaksi. Masing-masing tetap layak memiliki otonomi dan kekuatan khasnya sendiri. Mencampurkan keduannya akan menjadi sebuah kekonyolan, yakni teologisasi ilmu, atau empirisasi teologi. Ini kedua-duanya absurd, sebab dengan meneologisasika ilmu, otomatis bobot keilmuan pun akan turun. Sebaliknya, mengempirikan teologi, meskipun bisa, akan menjadi bagai mengempirikkan filsafat. Sebenarnya, seperti halnya filsafat, teologi lebih banyak berurusan dengan tafsir misteri dan makna eksistensial, yang kedalaman maupun keluasannya melebihi wilayah kompetensi ilmu empirik. Dan juga, landasan dasar teologi adalah kitab suci dan realitas supranatural, yang menyebabkan teologi tidak pernah bisa menggunakan nalar dengan keleluasan sebebas penalaran ilmu empirik.
Jika yang dibayangkan adalah interaksi agama dan ilmu, maka yang paling realistis adalah sekadar memberi peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi itu. Dan iteraksi itu bisa berupa saling mengkritik ataupun saling mendekonstruksi, tetapi ini semata-mata agar ilmu dan agama mampu untuk selalu mentransendensi dirinya sendiri, dengan cara mendobrak ketertutupan atau stagnasi masing-masing.[7]
Hubungan antara sains dan agama tidak selalu harmonis, konflik terjadi ketika teori sains berbentutran dengan ajaran agama yang diterjemahkan secara harpiyah oleh G. Barbour. Lihat saja tragedy ilmuwan Galileo Galilei yang dihukum mati pada tahun 1663 ketika mengeluarkan teori heleosentris dari Necolaus Copernicus. Hal ini dianggap menentang doktrin gereja yang waktu itu menganut paham geosentris dari Ptolemaeus yang didukung oleh Aristoteles. Teori evolusi Darwin dianggap melecehkan doktrin penciptaan Alkitab, sehingga diusulkan untuk dilarang di Arkansas.
Dalam islam, konplik antara sain dan agama juga terjadi walaupun tidak separah itu. Misalnya, ada ulama yang membantah adanya astronot Amerika  bisa mendarat di Bulan, dengan dalih bahwa benda langit itu suci maka tidak mungkin manusia kafir menyentuhnya. Atau mereka yang tetep menolak hasil USG yang bisa mengetahui jenis kelamin janin didalam perut ibunya. Dengan dalih, hanya Allah saja yang bisa tahu apa yang didalam rahim. Ramalan hujan hasil penginderaan satelit cuaca juga ditolak karena hanya Allah saja yang tahu kapan turun hujan. Penafsiran terhadap kitab suci adalah salah satu penyebab konflik tadi. Apalagi bila kosmologi pra-agama dianggap sebagai rukun iman.[8]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memang benar agama dan sains mempunya eintitas masing-masing dan akan sulit untuk menilai keduanya dalam hal persamaan, dalam makalah ini dijelaskan aspek-aspek yang mungkin menjadi titik persamaan:
Pertama, kesadaran kritis dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.


Daftar Pustaka
Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung.
A. A Yewangoe, Agama Dan Kerukuna, PT Gunung Mulia, cet. 4, 2009,  Jakarta.
Agus M. Hardjana, Religiusitas,Agama Dan Spiritualits, Kanisius, cet. 1, Yoyakarta, 2005.
Wahyuddin Achmad, M. Ilyas, M. Saefulloh, Z. Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, Grasindo, Surabaya, 2009.
Bambang Pranggono, Sains Menggali Inspirasi Ilmiah, Ide Islami, Bandung, 2006



[1] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 82
[2] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 12
[3] A. A yewangoe, agama dan kerukunan, hlm. 3
[4] Agus m. hardjana, religiusitas,agama dan spiritualits, Hlm. 50
[5] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 12
[6] Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 43-44
[7] Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 45-47
[8] Bambang pranggono, sains menggali inspirasi ilmiah, hlm. ix

2 comments: