PENDAHULUAN
Filsafat
Islam tumbuh dan berkembang di bawah naungan Islam, dipengaruhi oleh
ajaran-ajarannya dan hidup di bawah suasana peradabannya. Kaum muslimin, di
Timur maupun di Barat ikut memberikan andil tanpa memperhitungkan adanya
perbedaan daerah atau tempat tinggal, bahkan tidak ada masalah andaikata pihak
non Muslim yang berada di bawah naungan Islam ambil bagian.
Fulsafat
Islam memiliki keunikan dalam topik dan isu yang digarap, problem yang coba
dipecahkan, dan metode yang digunakan dalam memecahkan permasalahan-permasalahitu.
Filsafat
Islam selalu berusaha untuk mendamaikan wahyu dan nalar, pengetahuan dan
keyakinan, serta agama dan filsafat. Filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan
bahwa pada saat agama berpelukan dengan filsafat, agama mengambil keuntungan
dari filsafat, sebagaimana filsafat juga mengambil manfaat dari agama. Pada
intimya, filsafat Islam adalah hasil kreasi dari sebuah lingkungan di mana ia
tumbuh dan berkembang, dan jelasnya, filsafat Islam adalah agama dan spiritual.
Meskipun
filsafat Islam berorientasi religius, ia tidak mengabaikan isu-isu besar
filsafat, seperti problem keberadaan dalam waktu, ruang, materi dan kehidupan.
Cara pengkajian filsafat Islam terhadap epistemology pun unik dan
berkomprehensif. Ia membedakan antara kedirian (nafs) dan nalar, potensi bawaan
sejak lahir dan Al-muktasab, ketetapan dan kesalahan pengetahuan dzanni dan
qath’i. Filsafat Islam juga mengkaji tentang defenisi serta klasifikasi
kebaikan dan kebahagiaan. Oleh karena itu dalam makalah ini saya menyajikan
salah satu tokoh filusuf muslim yang phenomenal, yang didalamnya akan membahas
biografi, karya-karya dan fisafatnya sendiri.
PEMBAHASAN
AL-FARABI
1.
Biografi
Nama
lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Ia
lahir di Wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan nama kota Atrar atau Transoxiana)
Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia
dan ibunya berkebangsaan Turki. Dikalangan orang-orang latin, Al-Farabbi lebih
dikenal dengan Abu Nashr (abunaser), sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab,
tempat ia dilahirakan.
Sejak
kecil, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kacakapan luar bisa dalam bidang
bahasa. Bahasa yang dikuasinya, antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan
Kurdistan. Munawir Sjadzali mengatkan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam
tujuh puluh bahasa; tetapi yang ia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa: Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.
Pada
waktu mudanya, Al-Parabi pernah belajar bahasa dan satra Arab di Bagdad kepada Abu
Bakar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn Yunus,
seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar
kepada Yuhana ibn Hailan. Kemudian, ia berpindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani
di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhan ibn Jilad. Akan tetapi, ia kembali lagi
ke Baghdad untuk memperdalam filsafat dan menetap selama 20 tahun. Di Baghdad
ia membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Diantara
muridnya yang terkeanal adalah Yahya ibn Adi, dan filsuf Kristen.
Pada
usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945), ia pindah ke Damaskus, dan
berkenalan dengan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, sultan dinasti Hamdan di Aleppo.
Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
besar, tetapi Al-Parabi memilih hidup sederhana (zuhud) dan dan tidak tertarik
dengan kemewahan.
Hal yang
paling menggembirakan Al-Parabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa,
ahli pikiq dan cendikiawan lainnya. Kurang lebih 10 tahun Al-Parabi tinggal di
Aleppo dan Damaskus. Pada bulan Desember 950 M (339 H), Al-Parabi meninggal
dunia di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Al-Parabi
yang dikenal sebagai filsuf yang besar, memiliki keahlian dalam banyak bidang
keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupas
dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370
H/980 M-428 H/1037 M) dan Ibu Rusyd (520 H/1126 M-595 H 1198 M) banyak
mengambil dan mengupas sitem filsafatnya. Terbukti dengan usahanya untuk
mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya al-jam’u
baina ra’yay al-haimain aflathun wa aristhu. Oemar Amir Husain menyatakan
bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles,
bahkan hampir seluruh isi buku itu dihapalnya, tetapi belum memhaminya. Ibnu Sina
baru memahami filsafat Aristoteles setelah membaca buku Al-Parabi, tahqiq
ghardh aristhu fi kitab ma ba’da ath thobi’ah yang menjelaskan tujuan dan maksud metefisika Aristoteles.
Karena pengetahuan yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles,
ia dijuluki Al-Mu’alim Ats-Tsani (guru kedua), sedangkan Al-Mu’alim
Al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles.
Pada
abad pertengahan, Al-Parbi sangat dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak
mempelajari karangan-karangan/ risalah-risalah yang disalin kepada bahasa Ibrani.
Al-Parabi
hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan dinasti Abasiyah di goncang
oleh berbagai gejolak, pertentangan, dan pemberontakan. Al-Parabi lahir pada
masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-892) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti.
Suatu periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali.
Diperkirakan erat kaitannya dengan situasi politik yang demikian kiseruh, Al-Parabi
menjdi gemar berhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk
mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.[1]
2.
Karya-Karya Al-Farabi
Hasil
karya Al-Farabi dapat diklasifikasikan kedalam logika dan non-logika. Dalam
bidang logika, ia memeberikan kementar-komentar terhadap bagian dari
organon-nya Aristoteles, menulis pengantar tentang logika, serta menulis
tentang ringkasan logika. Sedangkan karya Al-Farabi yang non-logika adalah ilmu
politik, etika, ilmu alam, psikologi, metafisika dan matematika. Dalam bidang
politik Al-Farabi meringkas tulisan Plato yang bertitel The Laws; dalam
bidang logika ia mengomentari Necomachean Ethics-nya Aristoteles; ilmu
alam dengan mengomentari Physics, Meteorology de Caelo et de Mundo, dan on
the Movement of the Heavenly Sphere-nya Aristoteles; dan dalam bidang
psikologi, ia mengulas komentar Alexander aphrodisiac tentang jiwa (de anima).
Selain itu, Al-Parabi juga memiliki tulisan-tulisan lain yang masih berkaitan
tentang jiwa namun bersifat mandiri (bukan komentar atau ulasan karya orang
lain), diantaranya tulisan Al-Parabi tentang jiwa (on the soul); tentang
daya jiya (on the power of the soul); tentang kesatuan dan satu (unity
on the one), dan tentang ‘aqlu dan ma’qul (the intelligence and
intelligible). Dalam disiplin metafisika Al-Parabi menulis makalah tentang
substansi (substance), waktu (time), ruang dan ukuran (space
and measure), dan kekosongan (vacuum). Dalam bidang matematika, dia
mengulas al-majasta-nya Ptolemy.
Karya
Al-Parabi beredar di Timur dan di Barat, sebaginnya diterjemahkan kedalam
bahasa Yunani dan Latin, dan bahkan kedalam bahasa Eropa modern, hingga
mempengaruhi sarjana-sarjana Yahudi dan Kristen.[2]
Al-Parabi
meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Tentang logika Al-Parabi mengatakan
bahwa fisafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah
lebih dahulu daripada kebenaran agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal)
maupun dari sudut logika. Dikatan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu,
karena Al-Parabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti
penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh
sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena
semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatkan, pada mulanya lewat
cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para nabi. Karya Al-Parabi
tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles, baik
dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih
berupa naskah, dan sebagian besar naskah-naskah ini belum ditemuka. Kebanyakan
pemikiran yang dikembangkan oleh Al-Parabi sangata berafiliasi dengan sistem
pemikiran Hellenik berdasakan Plato dan Aristoteles.[3]
Al-Farabi
yang dikenal sebagai filsuf islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi,
kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu,
banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karya tersebut tidak banyak
diketahui seperti karya Ibn Sina. Hal ini karena karya-karya Al-Farabi hanya
berupa rislah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku
besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang
masih dibaca kurang lebih 30 judul saja. Diantara judul karyannya adalah
sebagai berikut:
1)
Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimah Aflathun wa Aristhu;
2)
Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3)
Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4)
At-Ta’liqat;
5)
Risalah Fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
6)
Kitab Tashil As-Sa’adah;
7)
Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8)
‘Uyun Al-Masa’il;
9)
Ara’ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10)
Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
11)
Muqalat fi Ma’ani Al-Alq;
12)
Fushul Al-Hukum;
13)
Risalat Al-Aql;
14)
As-Siyasah Al-Madaniyah;
15)
Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibiah Anha.
Dari
kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis Al-Farabi,
terlihat dengan jelas bahwa Al-Farabi adalah sosok filsuf, ilmuan, dan
cendiawan kaliber dunia yang ilmunya
sangat luas dan dalam. Massignon, ahli ketimuran Francis mengatakan bahwa Al-Farabi
adalah seorang filsuf islam pertama. Sebelum dia, Al-Kindi telah membuka pintu
filsafat bagi dunia islam. Akan tetapi, Al-Kindi tidak menciptakan sistem
filsafat tertentu dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang
belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah
menciptakan suatu sitem filsafat yang lengkap seperti peranan yang dimiliki
Plotinus bagi dunia Barat.[4]
3.
Filsafat Al-Farabi
Al-Farabi
dalam karyanya Tashil As-Sa’adah menyebutkan, “untuk menjadi filsuf yang
benar-benar sempurna, seseorang harus mempunyai ilmu-ilmu teoretis dan daya
untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemampaatan orang lain sesuai dengan
kapasitas mereka” ( Al-Parabi [1981 b]:89;[1969a]: 43). Al-Farabi, mengikuti Plato,
berpendirian bahwa setiap filsuf sejatinya dibebani tugas untuk mengomunikasikan
filsafat mereka kepada orang lain, dan bahwa tugas ini sangat pening untuk
memenuhi cita ideal filsafat.
Atas
dasar itu Al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah” Al Ilmu Bil Maujudaat Bima
Hiya Al-Maujudaat (ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala
yang ada).” Untuk menerapkan filsafat, Al-Farabi menawarkan dua pola;
konseptualisasi dan pembenaran. Selengkapnya pembahasan sebagai berikut:
“ teori demonstrasi Al-Farabi sendiri
terpusat pada analisis terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
memperoleh ilmu atau pengetahuan (‘ilm =episteme dalam bahasa Yunani). Seperti
pemikir muslim pengikut Aristoleles yang lain, Al-Farabi mendasarkan analisis
ini pada dua perbedaan antara dua tindakan kognitif dasar, yakni
konseptualisasi (tashawwur) dan pembenaran (tashdiq). Tindakan pertama
bertujuan memahami konsep-konsep sederhana dan memungkinkan kita menyerap
esensi objek yang kita pahamai itu ketika tindakan itu menjadi utuh atau
sempurna. Tindakan kedua, yaitu pembenaran, terjadi atau muncul dalam
pertimbangan dan penilaian benar atau salah, ketika tindakan itu utuh atau sempurna,
ia memberikan pengatahuan yang pasti. Dua tindakan kognitif ini pada gilirannya
diidentifikasi berturut-turut sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh definisi
dan silogisme demonstratif, dua topik penting yang dibahas dalam Posterior
Analytics-nya aristoteles sehingga analisis terhadap syarat-syarat bagi
konseptualisasi dan konfirmasi yang sempurna menjadi kunci interpretasi Al-Farabi
atas teori demontrasi aristoteles (kitab Al-Burhan, dalam Al-Farabi [1986-7],
4:19-22, 45)”.
Meskipun
demikian, filsafat Al-Farabi lebih cenderung kepada filsafat Plato daripada
fisafat Aristoteles. Al-Farbi sependapat dengan Plato bahwa alam ini adalah
“baru” dan terjadi dari tidak ada. Pendapat yang senada juga diungkapka oleh Al-Kindi
(185-252 H/801-816 M).[5]
Kalau
kita melihat terhadap perkembangan filsafat Al-Farabi, telah banyak filsuf Barat
yang telah terpengaruhi oleh filosofinya, seperti Albert the Great dan Thomas
Aquinas. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sering mengutip pemikiran Al-Farabi.
Pemikiran falsafah Al-Farabi menjadi dasar pijakan bagi Ibnu Sina. Harmonisasi
yang dilakukan Al-Farabi terhadap falsfahnya dan agama dapat diselesaikan
dengan tepat, dan bahkan ditambah dengan unsur-unsur tasawuf falsafi yang
dikembangkannya.
Secara
garis besar, terdapat lima objek kajian filosofi Al-Farabi: pertama, masalah
ontologi; kedua, maslah metafisika teologis; ketiga, masalah kosmologi yang
berkenaan dengan teori emanasi; keempat, masalah jiwa rasional; kelima, maslah
falsafah folitik.
a.
Masalah
Ontologi
Maslah tertinggi dan universal yang menjadi pemikiran Al-Farabi ialah
konsep tentang wujud (being), sesuatu yang ada namun sulit didefinisikan dengan
tepat mengingat wujud sudah ada terlebih dahulu sebelum segala konsep tentang
segalanya muncul. Mendefinisikan sebuah konsep berarti menganalisis apa yang
dikandungnya. Wujud (beimg), merupakan sesuatu yang paling halus, sehingga
ungkapan apapun tidak akan mampu mendefinisikan wujud. Al-Farabi mengemukakan
enam wujud dasar yaitu sebab yang pertama, yang esa; kedua, akal-akal planet
langit; ketiga, al fa’al; keempat, jiwa; kelima, bentuk; keenam, materi.
Dalam konsepsi Al-Faarabi, wujud dibedakan menjadi dua kategori;
wajib dan mumkin. Wajib al-wujud adalah sesuatu yang berdiri sendiri,
yang mesti ada, dan kita tidak dapat membayangkan ketiadaannya, misalnya Tuahan.
Sedangkan mumkin al-wujud adalah wujud yang mengejawantah karena wujud
lainnya. Ketidak adaannya dapat dimengerti oleh akal sehat, misalnya dunia kita.
Semua yang ada menurut Al-Farabi, terdiri atas potensial dan
aktual. Semua wujud potensial memiliki kemungkinan untuk menjadi aktual, sebeb semua
benda sebelum ia menjadi benda yang tampak aktual, ia bersifat mungkin karena
masih berujud potensial. Hanya tuhan saja yang aktual.
Al-Farabi membagi wujud kedalam substansi dan aksigen, esensi dan
eksistensi. Menurutnya, substansi adalah wujud yang ada pada dirinya sendiri,
sedangkan aksigen selalu memerlukan substansi yang menjadi dasar dan tergantung
bagi keberadaannya. Esensi (dzat) adalah inti dari keberadaan sesuatu,
sedangkan eksistensi adalah aktualisasi dari esensi. Manusia adalah eksistensi,
sedangkan jiwa (ruh) manusia adalah esensi atau dzatnya. Menurut Al-Farabi esensi
dan eksistensi adalah dua hal yang berbeda. Sebab jika esensi dan eksitensi
merupakan satu kesatuan makna kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang
lain. Dalam hal ini hanya ada satu wujud yang esensi dan eksistensinya satu,
yaitu Tuhan.[6]
b.
Metafisika
Teologi
Pertanyaan pertama yang diajukan kepada Al-Farabi adalah, dapatkah
tuhan diketahui?. Dalam salah satu karyanya Al-Farabi menjawab, Tuhan dapat
diketahui dan tidak dapat diketahui, tuhan itu dhahir sekaligus batin.
Pengetahuan terbaik mengaenai tuhan ialah memahami bahwa dia adalah sesuatu
yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak dapat mengetahui tuhan
sebab kapasitas intelektual yang dimiliki manusia, yang berfungsi sebagai
sarana untuk mengetahui-Nya, terbatas. Cahaya adalah media bagi mata manusia
untuk mengetahui warna. Secara logis dapat disimpulkan bahwa cahaya yang
sempurna akan menghasilkan pandangan yang juga sempurna. Tuhan tidak terbatas, sehingga
mustahil yang tidak sempurna mencapai yang maha sempurna. Akan tetapi, hal itu
bukan bahwa tuhan tidak dapat dikeahui sama sekali. Dalam hal ini Al-Farabi memberikan
jalan keluar mngenai tuahn. Menurut Al-Farabi, melalui penalaran dan argument,
serta kemampuan daya pikirnya, manusia dapat sampai pada pengetahauan tentang
tuhan. Al-Farabi membuktikan eksistensi tuhan dengan mengajukan beberapa
argument: pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang berada di alam semesta
selalu bergerak, yang berujung pada satu hal yang mesti, yaitu adanya sesuatu
yang tidak bergerak yang justru sebagai pengeraknya. Kedua penyebab effisien
(efficiency causation). Demikia juga dengan adanya sebab yang beruntun yang
berujung pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan. Ketiga, argumen mumkin
al-wujud. Semua yang berada di dunia merupakan realitas yang mengandung
kebolehjadian. Sedangkan wajib al-wujud adalah sesuatu yang realitas
menjadi sebuah keharusan, dan bahkan ia menjadi sandaran dari segala yang ada.
Itulah Tuhan. Al-Farabi memberikan sifat tuhan sama seperti filusuf teistik
modern; dalam pengertian manusia dapat mengetahui tuhan melalui ciptaan-Nya.[7]
Al-Farabi menjelaskan metafisik (ketuhanan) menggunakan pemikiran Ariatoteles
dan Neopltonisme. ia berpendapat bahwa Al-Maujud Al Awwal sebagai sebab
sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pembuktian adanya tuahan, Al-Farabi menggunakan
Dalil Al-Wajibul Wujud dan mumkinil Al-Wujud. Menurutnya, segala
yang ada ini hanya memiliki dua kmungkinan dan tidak ada alternatif yang
ketiga. Wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan
sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang
sempurna selamanya dan tidak diketahui oleh tiada. Jika wujud itu tidak ada,
akan timbul kemustahilana karena wujud lain untuk adanya bergantung kpadanya.
Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-wujud ialah sesuatu yang
sama antara wujud dan tidaknya. munkinil al-wujud tidak akan berubah menjadi
wujud aktual tanpa adnya wujud yang sempurna, dan yang menguatkan itu bukan
dirinya, tetapi wajib al-wujud. Walaupun demikian, mustahil jadi daur
dan taslsul (processus in infinitum) karena rentan itu akan berakhir
pada wajib al-wujud.[8]
Penilaian De Boar ada benarnya ketika ketika mengatkan istilah Wajib
Al-Wujud dan Mumkin Al-Wujud Al-Farabi hanya istilah lain dari Al-Qadim
dan Al-Hadisth. Dengan kata lain Al-Farbi membagi wujud kepada dua
bagian, yaitu:
1)
Wujud
yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang
tidak akan ada, kalau sekirannya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut
tabi’atnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Dengan kata lain cahaya adalah
wujud yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya itu menjadi wujud
yang nyata karena matahari. Wujud yang mumkin itu menjadi bukti adanya sebab
yang pertama, karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud
yang nyata dan pertama kali ada.
2)
Wujud
nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya yaitu wujud
yang diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemusyrikan. Kalu itu tidak ada,
maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi
semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.[9]
Pandangan Al-Farabi mengenai sifat tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah,
yakni sifat tuhan tidak berbeda dengan subsatnsi-Nya.[10]
Tentang ilmu Tuhan, Al-Farabi terpengaruhi oleh Arisoteles yang mengatakan
bahwa tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan
oleh Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah
(particular). Maksudnya, pengetahuan tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan
pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘aql hanyan dapat menangkap yang
kulli (universal), sedangkan untuk yang juz’i hanya dapat ditangkap oleh
pancaindra. Oleh karena itu, pengetahuannya tentang juz’i tidak secara
langsung, melainkan Ia sebagai yang juz’i.[11]
Pembucaraan mengenai metafisika berkisar pada masalah tuhan,
wujud-wujudnya atau kehendaknya.
a.
Ilmu
Ketuhanaan
Al-Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga yaitu:
Ø Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagi wujud.
Ø Membahas perinsip-perinsip burhan dalam teori-teori juz’iyat, yaitu
ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya terhadap wujud-wujud tertentu.
Seperti ilmu matiq (logika), matematika, atau ilmu juz’iyyat lainnya.
Ø Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam
benda-benda itu.
b.
Wujud
Al-Farabi membagi wujud menjadi dua bagian yaitu:
Ø Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti
wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
Ø Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang
tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-nya.
c.
Sifat-sifat
tuhan
Tuhan adalah
zat yang maha mengetahui tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat
mengetahui. Demikian pula Tuhan untuk dapat diketahui oleh zat-Nya sendiri,
juga memerlukan sesutat yang mengetahui-Nya. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya
sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain
hanyalah zat-Nya. Dengan demikian, ilmu dan zat yang yang mempumyai ilmu adalah
satu. Atau ia adalah ilmu yang mengetahui dan yang menjadi objek ilmu-Nya.
Dari uraian
diatas Al-Farabi berusaha menjelaskan ke-Esaan Tuhan dan ketunggalan-Nya dan
bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain adalah sifat-sifat-Nya sendiri.[12]
c.
Kosmologi
Kebenaran Tuhan adalah suatu keniscayaan, dan keberadaan alam
semesta juga merupaka kebenaran yang tidak dapat disangkal. Yang menjaadi
pertanyaan ialah bagimana hubungan alam semesta dengan tuhan?. Dalam menjawab
masalah ini, Al-Farabi mengedepankan teori emanasi. Sebenarnya teori Al-Farabi
ini diadopsi dari teori filusuf Yunani terdahulu, terutama Neo-Platonisme, Plotinus,
mengenai pelimpahan atau emanasi.
Dalam karyannya, kitab Ara Ahl Al-Madinah Al-Padhilah, Al-Farabi
menjelaskan bahwa Tuhan adalah akal yang berfikir tentang diri-Nya, dari
pikiran itu menimbulkan eksistensi atau wujud yang lain. Tuhan merupakan wujud
pertama dan dari pemikiran itu menimbulkan wujud kedua yang juga memiliki
substansi akal petama yang tidak bersifat materi. Wujud II/ akal I berfikitr
tentang Tuhan sebagai wujud I dan pemikiran itu menimbulkan wujud tiga yang
disebut akal II, dan seterusnya sampai munculah wujud XI dan akal X.
Menurut Al-Farabi, ketika proses pemikiran sampai pada wujud XI
akal X, berakhirlah kemunculan akal-akal selanjutnya. Dari akal X itu kemudian timbul
bumi, ruh-ruh, serta materi pertama yang menjadi dasar bagi kempat unsur api,
udara, air dan tanah. Jadi terdapat sepuluh akal dan (sphere) yang tetap kekal
berputar di sekitar bumi.[13]
d.
Psikologi
Jiwa manusia memancar dari akal x. pendapat Al-Farabi mengenai
kapasitas jiwa sejalan dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa jiwa
mempunyai daya-daya: pertama, daya gerak (al-muharrikah), yang meliputi
makan, memelihara, dan daya berkembang. Kedua, daya mengetahui (al-mudrikah)
yang meliputi dua daya lainnya, yaitu: daya merasa (al-hasanah) dan daya
imajinasi (al-mutakhayyilah). Ketiga, daya berfikir (an-nathiqoh)
yang meliputi akal praktis dan akal teoritis.
Dari ketiga daya tersebut, menurut Al-Farabi, hanya daya berfikir
yang memiliki beberapa tingkatan, yakni: pertama akal potensial yaitu akal yang
baru memiliki potensi berpikir dalam arti kemampuan melepaskan arti-arti atau
bentuk-bentuk dari materinya. Kedua, akal aktual yang telah mampu
melepaskan arti-arti dari materinya dan sudah mempunyai wujud yang sebenarnya,
tidak lagi dalam bentuk potensial, akan tetapi telah merupakan aktual. Ketiga,
akal perolehan, yaitu akal yang hanya dapat menangkap bentuk semata-mata.
Perbedaan antara akal aktual dan akal perolehan adalah jika akal aktual hanya
dapat menangkap bentuk semata-mata tanpa terikat materi, seperti akal x dan Tuhan.[14]
Konsep Al-Farabi mengenai akala x ini merupakan ramuan dari
berbagai simber. Al-Farabi sendiri menegaskan teori akal yang dipakainya
didasrkan pada Aristoteles, yaitu bagian ketiga dari anima Aristoteles. Sementara
teori emanasi Al-Frabi dapat ditelusuri pada konsep Plotinus dan Madzhab Alexandria.
Konsep jiwa dan akal-akal Al-Farabi erat kaitannya dengan konsep
epistimologi. Pola dasar yang menjadi acuan konsep epitimologi Al-Farabi berujung
pada penyatuan dua aliran falsafah. Al-Farabi berusaha menyatukan gagasan Aristoteles
dengan Plato, seperti yang tersirat dalam jam’u baina ra’yu al-hakimain.
e.
Falsafah
politik
Al-Farabi berpendapat, bahwa ilmu
plitik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak,
disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya,
dan apa yang membuat manusia melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur
memelihara tindakan dengan cara yang baik.[15]
Dalam pemikiran politik, Al-Farabi telah menulis karya sendiri
tentang kota utama (al-madinah al-padhilah). Kota digambarka sebagai
sebuah badan manusia yang memiliki anggota dan fungsi masing-masing. Kepala
memang posisi terpenting sebab bertugas mengatur masyarakatnya. Kepala adalah
sumber pengaturan dan keharmonisan masyarakat. Kepala mesti bertubuh sehat,
kuat dan pintar, cinta ilmu pengetahuan dan keadilan. Kepala harus mempunyai
kemampuan akal ketiga, akal perolehan yang dapat berhubungan dan berkomunikahsi
dengan akal sepuluh sebagai pengatur bumi. Sebaik-baik kepala ialah nabi atau
rasul. Jika tidak ada yang memiliki sifat-sifat nabi atau rasul, Negara diserahkan
kepada mereka yang memiliki sifat filsuf, yang mampu berbuat adil. Tugas lain
dari kepala Negara adalah mendidik rakyatnya agar berakhlak mulia. [16]
f.
Tasawuf
Al-Farabi
Kebahagiaan
yang ditinjau oleh filsafat dan moral, deferifikasi oleh teori dan praktek
serta diusahakan oleh manusia melalui studi dan tingkah lakunya, adalah
kebaikan mutlak dan puncak segala puncak, batas akhir krtinggian manusia dan
surga bagi orang-orang yang mencapainya. Al-Farobi mengatakan:
Kebahagiaan ialah jika jiwa manusia
menjadi sempurna didalam wujud dimana ia tidak membutuhkan, dalm ekistensinya,
kepada suatu materi. Hal itu dengan cara ia harus berada didalam globalitas esensi
yang terpisah dengan materi, ia harus abadi dalam kondisi itu, hanya saja
tingkatannya berbeda dibawah akal fa’al. Tetapi ia bisa mencapai hal itu
melalui tindakan-tindakan kehendak yang terdiri atas tindakan pikir dan
tindakan pisik. Ia tidak cocok dengan tindakan apapun, tetapi dengan tindakan
tindakan terbatas dan tertentu yang bisa didapat melalui keadaan-keadaan
tertentu yang benar-benar terbatas; hal itu dikarnakan diantara tindakan
kehendak itu ada tindakan yang bisa menghambat kebahagiaan. Kebahagiaan adalah
kebahagiaan yang dicari karena dirinya sendiri, sama sekali ia tidak dicari
kapanpun juga untuk di pergunakan untuk meraih sesuatu yang lain dan
dibelakangnya tidak ada seseuatu yang lebih besar dari padanya yang mungkin
dirasih oleh manusia.[17]
PENUTUP
Kesimpulan
Filsaat adalah salah satu ilmu yang
terus dibicarakan dari zaman dahulu sampai zaman modern, sehingga filsafat
tidak dapat dilepaskan dari kehidupan. Sehingga bermunculan para filusuf tidak
terkecuali dari umat islam, salah satunya adalah al-farabi, beliau telah
membuat berbagai karya diantaranya:
1)
Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimah Aflathun wa Aristhu;
2)
Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3)
Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4)
At-Ta’liqat;
5)
Risalah Fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
6)
Kitab Tashil As-Sa’adah;
7)
Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8)
‘Uyun Al-Masa’il;
9)
Ara’ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10)
Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
11)
Muqalat fi Ma’ani Al-Alq;
12)
Fushul Al-Hukum;
13)
Risalat Al-Aql;
14)
As-Siyasah Al-Madaniyah;
15)
Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibiah Anha.
Adapun corak dari filsafat al-farabi yang
terkenal dan banyak dibicarakan adalah masalah ontology, metafisika teologi,
kosmologi, fsikologi, dan Falsafah politik.
DAFTAR FUSTAKA
Hasyimsyah Nasution. Filsafat Islam.
Jakarta. Gaya Media Pratama. 1999.
Heri Hermawan. Filsafat islam.
Bandung. Cetakan pertama. CV Insan. 2011.
Juharya
S. Praja. Pengantar Filsafat Isalam ”konsep filusuf dan ajarannya”.
Bandung. CV Pustaka Setia. Cetakan pertama. 2009.
Amroeni Drajat. Suharwadi: kritik filsafat peripatetik.
Yogyakarta. LKiS Pelangi Aksara. Ceetakan pertama. 2005.
M. Sholihin. Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam.
Yogyakarta. PT Buku Kita. Cetakan pertama. 2008.
Ibrahim Madkour. Filsafat Islam, Metode dan Penerapan.
Jakarta. PtrajaGrapindo Persada. Cetakan keempat. 1996.
H.A. Mustofa. Filsafat Islam. CV Pustaka Setia. Bandung.
Cetakan keempat. 2009.
[2]
Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik,Hlm.118-119
[3]
Heri Hermawan. Yaya Sunarya, Filsafat Islam,Hlm.30-31
[4] Juhaya
s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, Hlm.83-84
[5]
Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, Hlm.84
[6]
Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik,Hlm.119-122
[7]
Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik, hlm.123
[8]
Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 88
[9]
Heris hermawan. Yaya sunarya, fisafat islam,Hlm.35
[10]
Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm.88
[11]
Ibid, hlm 89
[12]
H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Hlm.136
[13]
Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik, hlm. 124-125
[14]
Ibid, Hlm. 126
[15]
H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Hlm.131
[16]
Ibid, hlm. 127-128
[17]
Ibrahim Madkour. Filsafat islam, hlm.32