BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Masalah
Isu
hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan pertentangan dan
ketidaksesuaian Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antar keduanya. Kalangan
lain beranggapan bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat ditemukan,
keduanya adalah entitas yang berbeda, memiliki wilayah masing-masing yang
terpisah baik segi objek formal-material (ontologi), metode penelitian
(epistemologi), serta peran yang dimainkan (aksiologi).
Di
akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang
diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci). Diskusi
dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi Hubungan
Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”. Yang menjadi pemasalahannya
adakah titik temu antara agma dan sains.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian agama dan sains?
2. Apa permasalahan agama dan sains?
3. Bagimna hubungan agama dan sains?
C.
Tujuan
1.
Memahami
pengertian agama dan sains
2.
Mengetahui
permasalahan dalam agama dan sains
3.
Memahami
hubungan agama dan sains
BAB II
PEMBAHSAN
A.
Pengertian Sains
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan
dan ilmu sangat berbeda maknanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah
diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga menghasilkan
kebenaran yang obyektif serta telah diuji kebenarannya secara ilmiah, sedangkan
pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh manusia atau segala sesuatu yang
diperoleh manusia baik melalui pancaindra, intuisi, pengalaman, maupun pirasat.
Jadi ilmu pengetahuan (sains) adalah himpunan
pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat
dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat
didefinisikan sebagai kumpulan rasionalisasi kolektif insani atau sebagai
pengetahuan yang sudah sistematis.[1]
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) dijelaskan sains adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari
sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat
dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
B.
Pengertian Agama
Dalam masyarakat Indonesia selain kata
agama, dekenal pula kata din berasal dari Bahasa Arab dan kata religi
dari Bahsa Eropa, sedangkan agama berasal dari Bahasa Sangsakerta.
Dalam kamus An English Readher’s
Dictionary, A. S Homby dan Parnwell (1989) mengartikan religi sebagai
berikut.
Ø Belief in god as creator and control,
of the universe (percaya kepada tuhan sebagi penciptan dan pengatur alam
semesta),
Ø System of faith and worship based on
such belief (sitem iman dan penyembahan berdasarkan atas kepercayaan tertentu).[2]
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Menurut Emile Durkheim suatu sistem
interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat
serta tugas masyarkat dalam alam semesta.[3]
Menurut Insklopedi Indonesia I (Ed.
Hasan shadily), istilah agama berasal dari bahasa sangsakerta: a berarti
tidak, gama berarti pergi atau jalan dan yang a berarti bersifat atau
keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari,
kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai
hidup kekal.[4]
Menurut Sidi Gazalba (1991) agama adalah
kepercayaan pada hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat
yang gaib, hubungan yang menyatakan diri dalam bentuk serta sistem kultus dan
sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[5]
C.
Permasalahan Dalam Wilayah Sains Dan Agama
1. Permasalahan Sains
Pertama, berbagai kritik mendasar terhadap
dunia ilmu, terutama dari sudut filsafat ilmu, telah kian tegas memperlihatkan
bahwa ilmu sesunguhnya mengandung persoalan-persoaln serius, baik pada tingkat
asumsi-asumsi dasar metodologis maun inplikasi epistemologis maupun ontologis.
Feyerabend telah menunjukan bahawa pada kenyataannya, ilmu pengetahuan dan
perkembangannya tidaklah bergantung pada metodologi umum atau hukum tertentu.
Thomas Kuhn memperlihatkan bahwa diterima atau tidakntya suatu paradigma dalam
dunia ilmu ternyata tak sepenuhnya ditentukan oleh alasan logis, tetapi banyak
pula dipengaruhi unsur sosiologi dan psikologis. Dan sejak munculnya teori
relativitas, fisika kuantum, dan teori ketidakpastian, konsep tentang
objektivitas dan obsevasi menjadi sebuah problematik, sebab menjadi jelas dalam
kegiatan ilmiah peran subjek dan persepektif teoretis sangatlah menentukan
pula.
Kedua, hasil-hasil ilmu pengetahuan dan
teknologi ternyata juga bisa ambivalen. Disatu pihak mampu merekayasa realitas
menjadi makin sesuai dengan ambisi manusia, dipihak lain epek sampingnya pun
bisa sangat desdruktif dan menimbulkan persoalan etis serius. Rekayasa biologi
telah mengakibatkan begitu banyak makan
yang kita konsumsi mengandung zat-zat racun.
Ketiga, perjalanan ilmu hingga kini ternyata
tekah mencapai wilayah spiritual, entah dalam bentuk spiritual quotient (SQ)
dalam psikologi, Quantum-self dalam fisika baru, atau pola kognisi yang
autopoetik dalam cognitive-science, dan seterusnya. Sehingga kini wilaayah ilmu
dimungkinkan untuk berdialog denga khazanah agama, setelah lama antar keduannya
sulit untuk berinteraksi.
Keempat, dominasi ilmu pengetahuan telah mengakibatkan kecenderungan dominannya pola pikir
instrumrntal-pragmatis dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan orientasi
instrumrntal-pragmatis telah cukup parah merasuki lembaga-lembaga pendidikan,
dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Persekolahan sekarang lebih
mirip lembaga pelatihan pertukangan ketimbang lembaga pendidikan yang menjadikan
manusia lebih manusiawi.
2.
Permasalahan Dalam Agama
Disisi lain, kehidupan beragama pun
mengalami banyak persoalan. Pertama, tendensi-tendensi deskruptif kini
banyak bermunculan dalam kehidupan beragama, entah dalam bentuk eksklusuvisme
kelompok, sikap moralitas berlebihan, konsumerisme symbol yang picik dan
dangkal, atau ritualisme yang fanatik. Kedua, secara intern agama-agama
pun mengalani kebingungan dogmatis akibat makin suburnya kecenderungan
multitafsir. Ketiga, mentalitas superior masih demikian kuat becokol
dikalangan orang-orang beragama sehingga tendensi hendak saling menaklukan atau
merasa saling terancam. De facto agama terasa tak lagi membawa efek
segnifikan dalam memeperbaiki kehidupan.
Selain mengalami persoalan intern
masing-masing, ilmu dan agama pun mesti menghadapi persoalan global
bersama yang ditandai dengan
permisivisme pasar yang makin mencemaskan; ketidak adilan struktural pada
tingkat gelobal yang makin menimbulkan gejolak-gejolak berupa terorisme atau
peperangan; perinsip survival of the pittest yang makin menguat pada
tataran praksis; dan berbagai kecenderungan penghancuran diri entah dalanm
berupa perusakan ekologis, pengembangan rekayasa genetik, ataupun tendensi
bunuh diri.[6]
D.
Hubungan Sains Dengan Agama
Setelah kita melihat perbedaan
mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai persoalan yang meraka hadapi,
maka kita melihat kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, ilmu
membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa cara.
Pertama, kesadaran kritis dan sikap dan sikap
relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan
sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk menghancurkan agama, melaikan untuk
menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian
mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita
mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk
pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu
dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya
secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan
pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat
memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya
secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.
Sebaliknya, agama dapat membantu ilmu
untuk tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkreat yang
mesti dihadapinya. Pertama, agama dapat mengigatkan bahwa ilmu bukanlah
satu-satunya jalan menuju kebenarana, kedua, agama dapat mengingatkan
ilmu untuk senantias membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan diatas
kemajemukan pengetahuan itu sendiri. Ketiga, agama dapat membantu ilmu
mempedalam penjelajahan diwilayah adikodrati atau supranatural. Keempat,
agama bisa menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah terjerusu kedalam
mentalitas pragmatis-instrumental, yang mengnaggap bahwa sesuat dianggap
bernilai sejauh ada manfaatnya dan bisa digunakan untuk kepentingan kita.
Maka, kalau kita bicara integrasi
antara keduanya, agaknya itu mesti tetap dibayangkan sebagai sekedar interaksi.
Masing-masing tetap layak memiliki otonomi dan kekuatan khasnya sendiri.
Mencampurkan keduannya akan menjadi sebuah kekonyolan, yakni teologisasi ilmu,
atau empirisasi teologi. Ini kedua-duanya absurd, sebab dengan meneologisasika
ilmu, otomatis bobot keilmuan pun akan turun. Sebaliknya, mengempirikan
teologi, meskipun bisa, akan menjadi bagai mengempirikkan filsafat. Sebenarnya,
seperti halnya filsafat, teologi lebih banyak berurusan dengan tafsir misteri
dan makna eksistensial, yang kedalaman maupun keluasannya melebihi wilayah
kompetensi ilmu empirik. Dan juga, landasan dasar teologi adalah kitab suci dan
realitas supranatural, yang menyebabkan teologi tidak pernah bisa menggunakan
nalar dengan keleluasan sebebas penalaran ilmu empirik.
Jika yang dibayangkan adalah interaksi
agama dan ilmu, maka yang paling realistis adalah sekadar memberi
peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi itu. Dan iteraksi itu
bisa berupa saling mengkritik ataupun saling mendekonstruksi, tetapi ini
semata-mata agar ilmu dan agama mampu untuk selalu mentransendensi dirinya
sendiri, dengan cara mendobrak ketertutupan atau stagnasi masing-masing.[7]
Hubungan antara sains dan agama tidak
selalu harmonis, konflik terjadi ketika teori sains berbentutran dengan ajaran
agama yang diterjemahkan secara harpiyah oleh G. Barbour. Lihat saja tragedy
ilmuwan Galileo Galilei yang dihukum mati pada tahun 1663 ketika mengeluarkan teori
heleosentris dari Necolaus Copernicus. Hal ini dianggap menentang doktrin
gereja yang waktu itu menganut paham geosentris dari Ptolemaeus yang
didukung oleh Aristoteles. Teori evolusi Darwin dianggap melecehkan doktrin
penciptaan Alkitab, sehingga diusulkan untuk dilarang di Arkansas.
Dalam islam, konplik antara sain dan
agama juga terjadi walaupun tidak separah itu. Misalnya, ada ulama yang
membantah adanya astronot Amerika bisa
mendarat di Bulan, dengan dalih bahwa benda langit itu suci maka tidak mungkin
manusia kafir menyentuhnya. Atau mereka yang tetep menolak hasil USG yang bisa
mengetahui jenis kelamin janin didalam perut ibunya. Dengan dalih, hanya Allah saja
yang bisa tahu apa yang didalam rahim. Ramalan hujan hasil penginderaan satelit
cuaca juga ditolak karena hanya Allah saja yang tahu kapan turun hujan.
Penafsiran terhadap kitab suci adalah salah satu penyebab konflik tadi. Apalagi
bila kosmologi pra-agama dianggap sebagai rukun iman.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memang benar agama dan sains mempunya eintitas masing-masing
dan akan sulit untuk menilai keduanya dalam hal persamaan, dalam makalah ini
dijelaskan aspek-aspek yang mungkin menjadi titik persamaan:
Pertama, kesadaran kritis dan sikap relitas
yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi
ilusoris agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian
mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita
mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk
pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu
dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan
keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari
bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat
memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya
secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.
Daftar Pustaka
Zainal Abiding Bagir, Integrasi
Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung.
A. A Yewangoe, Agama Dan Kerukuna,
PT Gunung Mulia, cet. 4, 2009, Jakarta.
Agus M. Hardjana, Religiusitas,Agama Dan Spiritualits, Kanisius, cet. 1, Yoyakarta, 2005.
Wahyuddin Achmad, M. Ilyas, M. Saefulloh, Z. Muhibbin, Pendidikan
Agama Islam, Grasindo, Surabaya, 2009.
Bambang Pranggono, Sains Menggali Inspirasi Ilmiah, Ide
Islami, Bandung, 2006
[3] A.
A yewangoe, agama dan kerukunan, hlm. 3
[4]
Agus m. hardjana, religiusitas,agama dan spiritualits, Hlm. 50
[5]
Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama
islam, hlm. 12
[6]
Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 43-44
[7]
Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 45-47