PopAds

Saturday 24 October 2015

HUBUNGAN AGAMA DENGAN SAINS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
Isu hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan pertentangan dan ketidaksesuaian Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antar keduanya. Kalangan lain beranggapan bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda, memiliki wilayah masing-masing yang terpisah baik segi objek formal-material (ontologi), metode penelitian (epistemologi), serta peran yang dimainkan (aksiologi).
 Di akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci). Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”. Yang menjadi pemasalahannya adakah titik temu antara agma dan sains.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian agama dan sains?
2.      Apa permasalahan agama dan sains?
3.      Bagimna hubungan agama dan sains?

C.     Tujuan
1.      Memahami pengertian agama dan sains
2.      Mengetahui permasalahan dalam agama dan sains
3.      Memahami hubungan agama dan sains
                                                                              



BAB II
PEMBAHSAN
A.    Pengertian Sains
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dan ilmu sangat berbeda maknanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga menghasilkan kebenaran yang obyektif serta telah diuji kebenarannya secara ilmiah, sedangkan pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh manusia atau segala sesuatu yang diperoleh manusia baik melalui pancaindra, intuisi, pengalaman, maupun pirasat.
Jadi ilmu pengetahuan (sains) adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai kumpulan rasionalisasi kolektif insani atau sebagai pengetahuan yang sudah sistematis.[1]
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dijelaskan sains adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
B.     Pengertian Agama
Dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dekenal pula kata din berasal dari Bahasa Arab dan kata religi dari Bahsa Eropa, sedangkan agama berasal dari Bahasa Sangsakerta.
Dalam kamus An English Readher’s Dictionary, A. S Homby dan Parnwell (1989) mengartikan religi sebagai berikut.
Ø  Belief in god as creator and control, of the universe (percaya kepada tuhan sebagi penciptan dan pengatur alam semesta),
Ø  System of faith and worship based on such belief (sitem iman dan penyembahan berdasarkan atas kepercayaan tertentu).[2]
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Menurut Emile Durkheim suatu sistem interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarkat dalam alam semesta.[3]
Menurut Insklopedi Indonesia I (Ed. Hasan shadily), istilah agama berasal dari bahasa sangsakerta: a berarti tidak, gama berarti pergi atau jalan dan yang a berarti bersifat atau keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal.[4]
Menurut Sidi Gazalba (1991) agama adalah kepercayaan pada hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib, hubungan yang menyatakan diri dalam bentuk serta sistem kultus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[5]
C.    Permasalahan Dalam Wilayah Sains Dan Agama
1.      Permasalahan Sains
Pertama, berbagai kritik mendasar terhadap dunia ilmu, terutama dari sudut filsafat ilmu, telah kian tegas memperlihatkan bahwa ilmu sesunguhnya mengandung persoalan-persoaln serius, baik pada tingkat asumsi-asumsi dasar metodologis maun inplikasi epistemologis maupun ontologis. Feyerabend telah menunjukan bahawa pada kenyataannya, ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidaklah bergantung pada metodologi umum atau hukum tertentu. Thomas Kuhn memperlihatkan bahwa diterima atau tidakntya suatu paradigma dalam dunia ilmu ternyata tak sepenuhnya ditentukan oleh alasan logis, tetapi banyak pula dipengaruhi unsur sosiologi dan psikologis. Dan sejak munculnya teori relativitas, fisika kuantum, dan teori ketidakpastian, konsep tentang objektivitas dan obsevasi menjadi sebuah problematik, sebab menjadi jelas dalam kegiatan ilmiah peran subjek dan persepektif teoretis sangatlah menentukan pula.
Kedua, hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata juga bisa ambivalen. Disatu pihak mampu merekayasa realitas menjadi makin sesuai dengan ambisi manusia, dipihak lain epek sampingnya pun bisa sangat desdruktif dan menimbulkan persoalan etis serius. Rekayasa biologi telah mengakibatkan  begitu banyak makan yang kita konsumsi mengandung zat-zat racun.
Ketiga, perjalanan ilmu hingga kini ternyata tekah mencapai wilayah spiritual, entah dalam bentuk spiritual quotient (SQ) dalam psikologi, Quantum-self dalam fisika baru, atau pola kognisi yang autopoetik dalam cognitive-science, dan seterusnya. Sehingga kini wilaayah ilmu dimungkinkan untuk berdialog denga khazanah agama, setelah lama antar keduannya sulit untuk berinteraksi.
Keempat, dominasi ilmu pengetahuan telah mengakibatkan  kecenderungan dominannya pola pikir instrumrntal-pragmatis dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan orientasi instrumrntal-pragmatis telah cukup parah merasuki lembaga-lembaga pendidikan, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Persekolahan sekarang lebih mirip lembaga pelatihan pertukangan ketimbang lembaga pendidikan yang menjadikan manusia lebih manusiawi.
2.      Permasalahan Dalam Agama
Disisi lain, kehidupan beragama pun mengalami banyak persoalan. Pertama, tendensi-tendensi deskruptif kini banyak bermunculan dalam kehidupan beragama, entah dalam bentuk eksklusuvisme kelompok, sikap moralitas berlebihan, konsumerisme symbol yang picik dan dangkal, atau ritualisme yang fanatik. Kedua, secara intern agama-agama pun mengalani kebingungan dogmatis akibat makin suburnya kecenderungan multitafsir. Ketiga, mentalitas superior masih demikian kuat becokol dikalangan orang-orang beragama sehingga tendensi hendak saling menaklukan atau merasa saling terancam. De facto agama terasa tak lagi membawa efek segnifikan dalam memeperbaiki kehidupan.
Selain mengalami persoalan intern masing-masing, ilmu dan agama pun mesti menghadapi persoalan global bersama  yang ditandai dengan permisivisme pasar yang makin mencemaskan; ketidak adilan struktural pada tingkat gelobal yang makin menimbulkan gejolak-gejolak berupa terorisme atau peperangan; perinsip survival of the pittest yang makin menguat pada tataran praksis; dan berbagai kecenderungan penghancuran diri entah dalanm berupa perusakan ekologis, pengembangan rekayasa genetik, ataupun tendensi bunuh diri.[6]
D.    Hubungan Sains Dengan Agama
Setelah kita melihat perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai persoalan yang meraka hadapi, maka kita melihat kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, ilmu membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa cara.
Pertama, kesadaran kritis dan sikap dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk menghancurkan agama, melaikan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.
Sebaliknya, agama dapat membantu ilmu untuk tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkreat yang mesti dihadapinya. Pertama, agama dapat mengigatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenarana, kedua, agama dapat mengingatkan ilmu untuk senantias membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan diatas kemajemukan pengetahuan itu sendiri. Ketiga, agama dapat membantu ilmu mempedalam penjelajahan diwilayah adikodrati atau supranatural. Keempat, agama bisa menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah terjerusu kedalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang mengnaggap bahwa sesuat dianggap bernilai sejauh ada manfaatnya dan bisa digunakan untuk kepentingan kita.
Maka, kalau kita bicara integrasi antara keduanya, agaknya itu mesti tetap dibayangkan sebagai sekedar interaksi. Masing-masing tetap layak memiliki otonomi dan kekuatan khasnya sendiri. Mencampurkan keduannya akan menjadi sebuah kekonyolan, yakni teologisasi ilmu, atau empirisasi teologi. Ini kedua-duanya absurd, sebab dengan meneologisasika ilmu, otomatis bobot keilmuan pun akan turun. Sebaliknya, mengempirikan teologi, meskipun bisa, akan menjadi bagai mengempirikkan filsafat. Sebenarnya, seperti halnya filsafat, teologi lebih banyak berurusan dengan tafsir misteri dan makna eksistensial, yang kedalaman maupun keluasannya melebihi wilayah kompetensi ilmu empirik. Dan juga, landasan dasar teologi adalah kitab suci dan realitas supranatural, yang menyebabkan teologi tidak pernah bisa menggunakan nalar dengan keleluasan sebebas penalaran ilmu empirik.
Jika yang dibayangkan adalah interaksi agama dan ilmu, maka yang paling realistis adalah sekadar memberi peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi itu. Dan iteraksi itu bisa berupa saling mengkritik ataupun saling mendekonstruksi, tetapi ini semata-mata agar ilmu dan agama mampu untuk selalu mentransendensi dirinya sendiri, dengan cara mendobrak ketertutupan atau stagnasi masing-masing.[7]
Hubungan antara sains dan agama tidak selalu harmonis, konflik terjadi ketika teori sains berbentutran dengan ajaran agama yang diterjemahkan secara harpiyah oleh G. Barbour. Lihat saja tragedy ilmuwan Galileo Galilei yang dihukum mati pada tahun 1663 ketika mengeluarkan teori heleosentris dari Necolaus Copernicus. Hal ini dianggap menentang doktrin gereja yang waktu itu menganut paham geosentris dari Ptolemaeus yang didukung oleh Aristoteles. Teori evolusi Darwin dianggap melecehkan doktrin penciptaan Alkitab, sehingga diusulkan untuk dilarang di Arkansas.
Dalam islam, konplik antara sain dan agama juga terjadi walaupun tidak separah itu. Misalnya, ada ulama yang membantah adanya astronot Amerika  bisa mendarat di Bulan, dengan dalih bahwa benda langit itu suci maka tidak mungkin manusia kafir menyentuhnya. Atau mereka yang tetep menolak hasil USG yang bisa mengetahui jenis kelamin janin didalam perut ibunya. Dengan dalih, hanya Allah saja yang bisa tahu apa yang didalam rahim. Ramalan hujan hasil penginderaan satelit cuaca juga ditolak karena hanya Allah saja yang tahu kapan turun hujan. Penafsiran terhadap kitab suci adalah salah satu penyebab konflik tadi. Apalagi bila kosmologi pra-agama dianggap sebagai rukun iman.[8]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memang benar agama dan sains mempunya eintitas masing-masing dan akan sulit untuk menilai keduanya dalam hal persamaan, dalam makalah ini dijelaskan aspek-aspek yang mungkin menjadi titik persamaan:
Pertama, kesadaran kritis dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.


Daftar Pustaka
Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung.
A. A Yewangoe, Agama Dan Kerukuna, PT Gunung Mulia, cet. 4, 2009,  Jakarta.
Agus M. Hardjana, Religiusitas,Agama Dan Spiritualits, Kanisius, cet. 1, Yoyakarta, 2005.
Wahyuddin Achmad, M. Ilyas, M. Saefulloh, Z. Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, Grasindo, Surabaya, 2009.
Bambang Pranggono, Sains Menggali Inspirasi Ilmiah, Ide Islami, Bandung, 2006



[1] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 82
[2] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 12
[3] A. A yewangoe, agama dan kerukunan, hlm. 3
[4] Agus m. hardjana, religiusitas,agama dan spiritualits, Hlm. 50
[5] Wahyuddin achmad, m. ilyas, m. saefulloh, z. muhibbin, pendidikan agama islam, hlm. 12
[6] Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 43-44
[7] Zainal abiding bagir, integrasi ilmu dan agama, hlm. 45-47
[8] Bambang pranggono, sains menggali inspirasi ilmiah, hlm. ix

PLURALISME JOHN HICK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
Pengaruh globalisasi luar biasa dahsyat dan kompleks dalam mengubah kehidupan manusia dengan segala aspek diluar dari yang dibayangkan sebelumya. Ia telah menyebabkan luntur, dan bahkan lenyapnya jati diri dan nilai-nilai suatu kultur budaya. Namun ia juga telah memberikan kontribusi dalam mrnghidupkan dan menyadarkan kembali nilai dan tradisi warisan tersebut serta “penegasan jati diri keagamaan” seperti yang sekarang dikenal dengan “fundamentalisme keagamaan” khususnya yang beratribut islam yang menjadi kekuatan paling tangguh melawan hegemoni sistem gelobal.
Akan tetapi, globalisasi juga telah mempengaruhi secara nyata dan sangat signifikan, memunculkan gagasan-gagasan dan wacana-wacana teologis baru yang sangat radikal, yang intinya mengajukan bahwa tidak perlu bersikap resisten[1] dan menentang globalisasi dan globalisme yang sudah nyata menjadi kenyataan dan tak mungkin menghindarinya. Sebaliknya manusia harus menguabah atau merombak pemikirn-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama dengan zaman dan nilai-nilai yang diyakini universal.
Tren pemikiran pluralisme ini telah dibahas dan ditulis oleh Wilfred Cantwell Smith yang berjudul toward a world theology (menuju sebuah teologi dunia) dan john hick yang berjudul global theology (teologi global). Oleh karenanya dalam tulisan ini penulis akan membahas lebih mendalam mengenai global theology john hick.  



B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana konsep pemikiran pluralism Wilfred Cantwell Smith?
2.      Bagaimana konsep pemikiran pluralism John Hick?
C.    Tujuna
1.      Memahami konsep pluralism Wilfred Cantwell Smith
2.      Memahami konsep pluralisme John Hick







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mengkaji Ulang Terminologi Agama : Wilfred Cantwell Smith
Wilfred C. smith menegaskan diberbagai tempat dan kesempatan bahwa isu yang paling menantang, dan paling penting, bagi manusia abad ke-20 adalah bagaimana mengubah our nascent world society (masyarakat dunia yang baru saja tumbuh dan muncul dalam wujud) menjadi a world community (sebuah komunitas dunia). Seperti ungkapan smith: “ dan hal ini bukanlah hal yang gampang. Maka kita harus mempeljari tugas baru kita untuk hidup bersama sebagai partner dalam dunia yang multi-kultural, selama manusia tidak bisa saling pengertian dan mencintai satu sama lain secara lintas batas agama dan keyakinan bisa hidup bersama dengan damai, maka masa depan planet kita tidak akan cerah.[2]
Maka tugas yang paling besar menurut semith bagi manusia modern adalah universal friendship (persahabatan universal). Namun ini tidak akan mudah diwujudkan selain menggunakan dasar agama. Setelah melakukan riseet Smit bekeyakinan bahwa pokok dan inti permasalahan yang sebenarnya terletak pada minologi “agama” itu sendiri. Sebab menurutnya, agamalah yang memecah belah manusia menjadi sekte-sekte dan kelompok-kelompok agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda, bahkan saling bersebrangan dan bertentangan, tidak hanya antar agama tapi dalam agama yang satu dan sama. Oleh karena itu, perlu penelitian dan pengkajian mendalam guna membangun teologi baru yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
Dalam kajian yang sungguh-sungguh Smith sampai pada sebuah kesimpulan yang sangat mengagetkan dan provokatif. Ia melontarkan tesis “perlunya mengkaji ulang terminology agama”, dia menjelaskan dalam bukunya yang berjudu the meaning and End of religion, mendapati terminology agama ini sangat problematic, ambigu[3], controversial dan mengundang polemik dan pertanyaan-pertanyaan tak berujung, sampai pada level seseorang tidak dapat memberikan definisi istilah ini secara definitif, convincing dan bisa disepakati bersama. Dari sini, ia menyatakan dengan tegas dan tanpa reserve sedikitpun bahwa “dibumu maupun di langit, tidak ada sesuatu yang bernama agama”.
Apa yang kita namakan agama dewasa ini, menurut pembacaan Smith, adalah sesuatu yang dianggap oleh orang melauli jendela atau kacamata pemikiran tertentu sebaginama sekumpulan keyakinan-keyakinan yang terorganisir yang terus berkembang dari masa kemasa yang kemudian disebut agama padahal kenyataanya tidak ada esensinya sama sekali yang bisa dipahami secara jelas tanpa perdebatan.
Berdasarkan bacaan diatas, terminology agama dalam pemahaman seperti ini adalah realitas baru, sebab menurut Smith sebelumnya tidak pernah dikenal seperti itu. Menurutnya perkembangan ini tidak diinginkan melainkan juga mengaburkan relaitas sebenarnya. Sebab pertama, permasalahn ini telah menimbulkan problem yang sangat kompleks dan krusial, yaitu fenomena pluralitas agama yang saling bertentangan; kedua, agama dalam pemahaman seperti ini dalam kenyataannya dilapangan tidak ada esensinya sama sekali, karena senantias berubah dan berkembang di dalam hati manusia setiap saat, dan bahkan setiap pagi. [4]
Dari sini Smith mengajak melepaskan terminology agama sebagai kata benda, dan bukan sebagi sifat, secara sepenuhnya dan untuk selama-lamanya. Ia mengusulkan dua termonologi baru: yaiut cumulative tradisonal dalam arti tradisi-tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia sebagi hasil interaksi antar berbagai kumpulan dari anasir[5] keagamaan dan budaya yang hidup seperti keyakinan ritus, ritual, teks suci dan tafsirannya, mitos, seni dan sebaginya, sehingga membentuk sutu sistem tersendiri yang karakteristik yang kemudian disebut tradisi Hindu, Budha, Yahdui, Kristen, muslim dan sebaginya. Selain cumulative tradisona smith juga mengajukan faith (iman yang sifatnya sangat pribadi).
Menurut Smith, kondisi seprrti ini tidak mungkin tercipta kecuali dengan memperluas atau memperlebar “jendela-jendela” atau menurut istilh John Hick “kaca mata-kaca mata”, pemikiran yang diwariskan era pencerahan, atau bahkan jika perlu dengan menggantinya dengan yang baru. Hanya dengan cara seperti itu kita dapat meliahat fenomena “agama” dan “pluralism agama”.[6]
B.     Transformasi Dari Pemusatan Agama Menuju Pemusatan Tuhan: John Hick
Seperti sudah disingguh diawal bawa kedua sarjana ini Wilfred C. Smith dan John Hick dalam gagasan pluralismenya sama-sama menggunakan pradigma Kuhnian sebagi metodologi gunaka meletakan suatu teori yang dimaksudkan sebagai solusi dari problem-problem fenomena pluralisme agama yang sangat kompek dan saling berseberangan.
Namun perlu diingatkan disini baik Smith maupun Hick menempuh caranya sendiri dalam dalam mengaplikasi, mengembangkan dan menginterpretasikan paradigm ini. Smith mencoba meninterpretasikan melalui model Newtonian revolution yang telah menemukan teori bahwa planet adalah sama dalam hukum gravitasi dan pergerakan, yaitu kebalikan yang diduga manusia sebelum bahwa hukum-hukum alam hanya berlaku pada planet bumi.[7] 
Sementara John Hick menginter­pretasikannya melalui model Copernican Revolution, yang menemukan "sentralitas matahari" dalam galaksi kita sebagai ganti planet bumi yang dahulu secara umum diyakini manusia. Maka masing-masing kemudian sampai pada sebuah "hidayah" yang sama, secara analogis dengan kedua revolusi ilmu fisika tersebut, yaitu keharusan apa bisa disebut "revolusi teologis" terhadap dikotomi dunia agama-yakni agama saya benar (haq) dan agama orang lain salah (batil). Oleh karena itu, Smith menganjurkan keharusan "transformasi orientasi dari pemusatan 'agama' menuju pe­musatan "iman" dan "himpunan tradisi" seperti yang telah kita bincang­kan di muka. Sementara Hick menganjurkan keharusan "transformasi orientasi dari pemusatan "agama" menuju pemusatan "tuhan", seperti yang akan kita perbincangkan berikut ini.
Barangkali orang pertama yang menggunakan "kaca mata Smithian" dalam konteks ini adalah Hick sendiri, sekiranya dalam bukunya Philosophy of Religion, yang merupakan karya pertamanya yang mem­bicarakan wacana pluralisme agama dan terbit tahun 1963 (yakni kurang lebih setahun setelah Smith meluncurkan teori-teorinya tentang "agama" dan "agama-agama" tahun 1962)[8] dan Hick percaya bahwa agama muncul melalui perjumpaan manuisa dengan yang rill. Tetapi lain lagi dengan Nasr kebenaran itu (agama) baik yang bersifat religious ataupun yang lainnya, sakral, semua bersumber dari Tuhan.[9] Dalam bukunya itu Hick menafsirkan fenomena ini dan mengembangkannya berdasarkan kesimpulan Smith, bahwa kehidupan spiritual keagaman manusia tidaklah berhenti dan tetap (static), melainkan senantiasa baru, berkembang dan berubah-rubah terus menerus sesuai perubahan masa dan perkembangan akal manusia.[10]
Berdasarkan perkembangan global ini, Hick memprediksi bahwa secara gradual akan terjadi converging courses (proses konvergensi cara-­cara beragama) di masa yang akan datang, sehingga pada suatu ketika agama-agama ini akan lebih menyerupai sekte-sekte.
Wacana atau pemikiran keagamaan lintas kultural ini menurut Hick, harus dibungkus dalam kemasan yang ia sebut global theology (teologi global) seperti yang la ungkapkan dalam bukunya yang lain:
 "Hendaknya kita siap merespons situasi baru dengan memulai program jangka panjang guna membangun teologi global atau humanis. Karena dapat diamati bahwa teologi global akan relevan dengan kelangsungan kondisi pluralitas agama sebagai bentuk ke­hidupan beragama yang realistis.
Dalam pandangannya, jika dianggap tidak mungkin adanya agama universal, maka sebetulnya ada kemungkinan untuk menggagas cara-cara dan upaya-upaya untuk mencapai "teologi global" (suatu terminologi yang menurutnya preferable)." Ajakan atau propaganda kuat untuk rnengawal, atau lebih tepatnya mengekor, proses globalisasi yang kini sedang berlangsung dengan ingar-bingarnya, telah menyisakan per­tanyaan-pertanyaan krusial dan mengundang berbagai kecurigaan sekitar apakah teologi global ini merupakan bagian organik dan proses ini dan salah satu mekanismenya, sebagaimana yang tampak dari kehendak kekuatan-kekuatan global yang berada di belakangnya. Apapun yang terjadi, yang jelas baik Smith maupun Hick telah menjadikan, ­globalisasi atau globalisme sebagai salah satu dasar utama, dan yang terpenting, bagi teori pluralise agama.[11]
Apa sejatinya tesis ini? Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa frase yang digunakan Hick untuk mengungkapkan tesis ini adalah "the trans­fonnation from self-centr dness to Reality-centredness (transformasi dari pemusatan diri menuju pemusatan Realitas). Di sini dapat dicatat bahwa Hick menggunakan terminologi "self' (diri) sebagai pengganti "religion" (agama) mengikuti "kaca-mata Smithian" yang digunakannya untuk melihat fenomena agama.             Sebagaimana telah diketahui sebelum­nya, menurut Smith istilah "agama" tidak lagi patut untuk merangkul dan mengakomodasi fenomena-fenomena keagamaan yang hidup dan terus berkembang dan berubah-rubah, sehingga harus ditinggalkan sepenuh­nya dan diganti dengan istilah "iman" dan "himpunan tradisi". Berangkat dari "iman Smithian" ini, yang oleh Hick didefinisikan sebagai something of vital religious significance (sesuatu makna keagamaan yang vital), Hick berteori bahwa "iman" dalam arti seperti ini "mengambil bentuk-­bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Keadaan spiritual ini terbentuk di dalam kesadaran dan jiwa seseorang, menurut anggapan Hick, sebagai akibat atau hasil dari pengalaman spiritualnya dalam merespons Realitas ketuhanan yang absolut. Dengan kalimat lain, Hick memahami "iman" ini sebagai the exercise of cognitive freedom (penggunaan kebebasan kognitif).[12]
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, Hick hendak menegaskan bahwa jalan keselamatan/pembebasan/pencerahan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plu­ral dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang melaluinya manusia melakukan respons terhadap Realitas ketuhan­an yang mutlak dan absolut.
Dipandang dari sudut pemahaman "positif' terhadap kehidupan iman manusia ini, maka upaya mempermasalahkan benar (haq) atau salah (batil) terhadap agama-agama menjadi tidak lagi relevan dan tepat. Namun, di samping itu semua, ternyata masih terdapat persoalan-per­soalan pelik yang tidak mudah diselesaikan, dan Hick sangat sadar akan hal ini. Sebagian dari persoalan-persoalan pelik tersebut, yang terpenting adalah persoalan teks-teks suci dan aqidah-aqidah agama yang mennyatakan, baik secara eksplisit maupun implisit, memonopoli kebenaran mutlak atau keselamatan atau pembebasan atau pencerahan secara eksklusil hanya dalam satu agama tertentu saja, atau yang dikenal dengan the conflicting truth-claims (klaim-klaim kebenaran yang berseberangan), Di dalam tradisi Kristen, misalnya, ada teks dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa Isa al-Masih adalah satu-satunya jalan menuju ko­selamatan (doktrin penyaliban dan penebusan),[13] Konon beliau mengaku bahwa beliau adalah almasih, jurus selamat, raja Israel dan pembebas mereka dari pendudukan pemerintah penjajahan romawi.[14] sebagaimana juga ada doktrin "inkarnasi" yang merupakan pusat keimanan Kristen. Di sini, Hick mencoba memberikan solusi lewat gagasannya yang lain, yang ia anggap rasional dan memuaskan, yang mungkin bisa disebut dengan "Christological revolution". Intinya adalah bahwa teks-teks dari ke­yakinan-keyakinan atau doktrin-doktrin seperti ini harus dimasukkan kedalam wilayah "mitos", sebab kalau masih tetap dalam wilayah nyata masing-masing, maka tak terhindarkan akan konflik dengan realitas praktis kehidupan manusia masa kini yang plural.
Wacana ini, menurut pandangan banyak peneliti termasuk John Hick, merupakan wacana epistemologis. Oleh karena itu, Hick lalu me­mandang paradigma "revolusi Kantian" di sini sangat berguna, karena konsep "Tuhan" dalam agama merupakan pokok dan pangkal dan bahkan niscaya untuk memahami; menganalisa dan menjelaskannya. Begitu pula konsep keselamatan/pembebasan/pencerahan, maka segala perhatian Hick pertama-tama diarahkan kepada konsep ini. Kemudian beliau meyakini diatas dasar epitemologi akan lair sebuah teori pluralism agama.[15]
Sebagaimana yang kita lihat, dan diakui oleh Hick sendiri, bahwa teori "Tuhan" ini merupakan inti dan sentral hipotesis yang ditawarkan­nya. Nah, di sini la melihat bahwa "revolusi Copernican" dalam Fisika, plus "revolusi Kantian", tidak saja dapat diaplikasikan dalam teologi agama-agama tapi bahkan suatu keniscayaan belaka, khususnya untuk memahami hakikat dan karakter hubungan agama dengan Tuhan, sebagaimana yang ia rinci secara panjang lebar dalam bukunya yang berjudul God and the Universe of Faiths.
Hick mengamati bahwa mayoritas manusia, baik ulamanya maupun awamnya, dalam pandangan mereka terhadap keselamatan, pembebasan dan pencerahan, masih senantiasa terkungkung dalam apa yang la sebut nalar "teologi Ptolemaik". Sebagaimana "astronomi Ptolemaik" meng­anggap bahwa planet bumi merupakan pusat sistem tata-surya dan bahwa semua benda-benda langit berevolusi dan berotasi mengelilingi bumi, maka setiap pengikut agama menganggap bahwa agamanya merupakan pusat dunia agama-agama dan bahwa agama-agama lain berevolusi dan berotasi mengelilinginya. Maka secara analogi, doktrin "tidak ada ke­selamatan diluar Kristen” menurut Hick, adalah teologi Ptolemaik.
Dihadapan berbagai pekembangan dan penemuan baru ilmiah dan sosio-kultural, khususnya di bidang astronomi dan ilmu perbandingan agama, orientasi pandangan semacam ini, menurut Hick, telah menjadi sesuatu yang baseless, untenable (tidak mungkin dipertahankan), serta harus diubah dan diperbaharui sebagaimna yang ia katakana: “kita harus mmelakukan apa yang disebut ‘revolusi copernican’ dalam teologi agama-agama”. Seperti yang terlontar Gavin D’Costa dalam teology Kristen yang hanya memusatkan keselamtan yang absolute pada diri Yesus,[16] Orang-orang kristen percaya bahwa penyaliban Yesus adalah jaminan keselamatan bagi mereka.[17] Telah mengalami transpormasi yang sangat radikal dan menjadi hanya salah satu dari sekian banyak jalan keselamatan yang ada.
Sebetulnya ajakan atau seruan ini diarahkan Hick, sebagai seorang Kristen, pertarna-tama kepada saudara-saudaranya yang beragama Kristen yang masih senantiasa mengimani "absolutisme Kristen". Itulah sebabnya dalam mengemas hipotesisnya, Hick berapologi, lebih banyak dari sudut pandang Kristen atau menggunakan idiom-idiom dan istilah-­istilah yang banyak dikenal dalam Kristen. Namun, meski demikian, ia sangat mengharap "revolusi teologis" seperti ini juga terjadi dalam agama-agama lain dengan membebankan tanggung jawabnya kepada para pemeluk agama-agama tersebut-khususnya para ulama dan teolognya. Dan proses ini tentu harus didahului dengan proses-proses pendahuluan yang sangat berat dan tidak gampang, sebagaimana yang dilakukan Hick, yaitu seperti apa yang disebut John S. Dunne dengan ­"passing-over" (suatu perjalanan atau pengembaraan spiritual melintasi batas atau sekat agama dan budaya untuk kemudian kembali ke agama yang asli dengan visi yang baru). Tampaknya "Visi baru" inilah yang menurut Hick akan banyak menolong manusia modern dalam mencari solusi-solusi, yang tidak saja realistis, obyektif, rasional, convincing dan promising, tapi lebih dari itu semua, bisa diaplikasikan (applicable) dan jitu sekaligus mengesankan- dalam membangun kehidupan bersama yang penuh kedamaian, kesetaraan, toleransi timbal-balik diantara tradisi, agama dan budaya-budaya yang amat beragam dan saling bertentangan. Nah, diantara solusi-solusi ini adalah hipotesis Hick tentang pluralisme agama yang ia tuangkan dalam tesis "Transformasi dari pemusatan-agama menuju pemusatan-Tuhan" sebagaimana diurai­kan di muka, dan yang pada dasarnya ia maksudkan sebagai alternatif dari teori-teori skeptisisme total terhadap fenomena pluralitas agama.[18]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hick merupakan tokoh yang sangat berperan penting dalam terbentuknya hidup harmonis antar umat beragama, dia tidak setuju terhadap asolutisme suatu agama yang menggap dirinya benar (haq) dan lainnya salah (batil). Dalam pendekatannya Hick  sama dengan Smith sama-sama menggunakan istilah pemusatan, tetapi model yang digunakannya yang berbeda dimana Smith menginterpretasikan dengan model Newtonian revolution dan Hick dengan model conpernican revolution.
Kalau kita lihat Hick mengembangkan padangan pada dasarnya adalah kontek sekuler, hipotesisnya bersifat idiologis. Dan kalau saya uraikan sebagai berikut: pertama, Hick percaya bahwa agama muncul dari melaui perjumpaan manusia dengan yang rill. Secara lebih khusus Hick menyatakan bahwa manusia menyumbangkan terbentuknya agama. Kedua,hipotesis Hick ini bersifat autoritatif, yang menampakan diri dalam suatu kebenaran yang mendikte cara. Sehingga beberapa kritik datang dari Donovan, Surin dan Apczynski. Ketiga, hipotesis Hick lebih bersifat khas-budaya tertentu (barat) ketimbang trans-kultural.
Kalau kita lihat pernyataan hick tentang pluralisme agama merupaka tujuan terakhir. Melaui saling interaksi dan konvergensi, agama sedang mengarah pada suatu kesatuan yang menghapus batas-batas yang ada, dan pada intinya pluralisme agama dapat dan harus memodifikasi agama. Naser tidak sepaham dengan Hick, menurutnya pluralisme agama (tradisi) merupakan kendaraan yang melaulinya sifat-sifat sakral tradisi lain dapat direalisasikanya. Perealisasian ini tidak membuat agama bersatu sebaliknya pliralisme menggarisbawahi batas-batas agama dengan saling menghormati yang sakral.

DAFTAR PUSTAKA
Anis Malik Thaha. Tren Pluralism Agama (Tinjauan Kritis). Gema Insani. 2005. Jakarta.
Adnan Aslan. Menyikapi Kebenaran. Alifya. Cet. 1. 2004. Bandung.
Muhammad Madji Marjan. Isa Manusia Apa Bukan. Gema Insane Press. 1993. Jakarta.
Muhammad Ali al-Kuhli. Kebenaran Yesus Kristus. Citra Media. 1996. Surabaya.


[1] sifat yg mampu  menahan, ataupun mengatasi perkembanga. KBBI hlm. 747
[2] Anis Malik Thaha. Tren Pluralism Agama (Tinjauan Kritis). Gema Insani. 2005. Jakarta. Hlm. 71
[3] Ambigu dapat di artikan sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan. KBBI hlm. 27
[4] Opcit. Hlm. 73
[5] sesuatu (orang, paham, sifat, dsb) yg menjadi bagian dr atau termasuk dl keseluruhan (suasana, perkumpulan, gerakan, dsb).KBBI hlm. 33
[6] Opcit. hlm.76
[7] Ibid, hlm. 77
[8] Ibid. 77
[9]  Adnan Aslan. Menyikapi Kebenaran. Alifya. Cet. 1. 2004. Bandung. Hlm. 165
[10] Anis Malik Thaha. Tren Pluralism Agama (Tinjauan Kritis). Gema Insani. 2005. Jakarta. Hlm. 79
[11] Ibid. 81
[12] Ibid. 82
[13] Ibid. 82

[14] Muhammad Madji Marjan, Isa Manusia Apa Bukan, Gema Insane Press, Jakarta, 1993, hlm 140.
[15] Ibid. 84
[16] Ibid. 87
[17] Muhammad Ali al-Kuhli. Kebenaran Yesus Kristus. Citra Media. 1996. Surabaya. hlm. 60
[18] Anis Malik Thaha. Tren Pluralism Agama (Tinjauan Kritis). Gema Insani. 2005. Jakarta. Hlm. 89