PopAds

Saturday 24 January 2015

MAKALAH TENTANG FILSAFAT AL-FARABI


PENDAHULUAN
Filsafat Islam tumbuh dan berkembang di bawah naungan Islam, dipengaruhi oleh ajaran-ajarannya dan hidup di bawah suasana peradabannya. Kaum muslimin, di Timur maupun di Barat ikut memberikan andil tanpa memperhitungkan adanya perbedaan daerah atau tempat tinggal, bahkan tidak ada masalah andaikata pihak non Muslim yang berada di bawah naungan Islam ambil bagian.
Fulsafat Islam memiliki keunikan dalam topik dan isu yang digarap, problem yang coba dipecahkan, dan metode yang digunakan dalam memecahkan permasalahan-permasalahitu.
Filsafat Islam selalu berusaha untuk mendamaikan wahyu dan nalar, pengetahuan dan keyakinan, serta agama dan filsafat. Filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan bahwa pada saat agama berpelukan dengan filsafat, agama mengambil keuntungan dari filsafat, sebagaimana filsafat juga mengambil manfaat dari agama. Pada intimya, filsafat Islam adalah hasil kreasi dari sebuah lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang, dan jelasnya, filsafat Islam adalah agama dan spiritual.
Meskipun filsafat Islam berorientasi religius, ia tidak mengabaikan isu-isu besar filsafat, seperti problem keberadaan dalam waktu, ruang, materi dan kehidupan. Cara pengkajian filsafat Islam terhadap epistemology pun unik dan berkomprehensif. Ia membedakan antara kedirian (nafs) dan nalar, potensi bawaan sejak lahir dan Al-muktasab, ketetapan dan kesalahan pengetahuan dzanni dan qath’i. Filsafat Islam juga mengkaji tentang defenisi serta klasifikasi kebaikan dan kebahagiaan. Oleh karena itu dalam makalah ini saya menyajikan salah satu tokoh filusuf muslim yang phenomenal, yang didalamnya akan membahas biografi, karya-karya dan fisafatnya sendiri.

PEMBAHASAN
AL-FARABI
1.      Biografi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di Wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan nama kota Atrar atau Transoxiana) Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Dikalangan orang-orang latin, Al-Farabbi lebih dikenal dengan Abu Nashr (abunaser), sedangkan sebutan  nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirakan.
Sejak kecil, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kacakapan luar bisa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasinya, antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzali mengatkan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh bahasa; tetapi yang ia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa: Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Pada waktu mudanya, Al-Parabi pernah belajar bahasa dan satra Arab di Bagdad kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn Hailan. Kemudian, ia berpindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhan ibn Jilad. Akan tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad untuk memperdalam filsafat dan menetap selama 20 tahun. Di Baghdad ia membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Diantara muridnya yang terkeanal adalah Yahya ibn Adi, dan filsuf Kristen.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, sultan dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar, tetapi Al-Parabi memilih hidup sederhana (zuhud) dan dan tidak tertarik dengan kemewahan.
Hal yang paling menggembirakan Al-Parabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli pikiq dan cendikiawan lainnya. Kurang lebih 10 tahun Al-Parabi tinggal di Aleppo dan Damaskus. Pada bulan Desember 950 M (339 H), Al-Parabi meninggal dunia di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Al-Parabi yang dikenal sebagai filsuf yang besar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupas dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M-428 H/1037 M) dan Ibu Rusyd (520 H/1126 M-595 H 1198 M) banyak mengambil dan mengupas sitem filsafatnya. Terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya al-jam’u baina ra’yay al-haimain aflathun wa aristhu. Oemar Amir Husain menyatakan bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku itu dihapalnya, tetapi belum memhaminya. Ibnu Sina baru memahami filsafat Aristoteles setelah membaca buku Al-Parabi, tahqiq ghardh aristhu fi kitab ma ba’da ath thobi’ah yang  menjelaskan tujuan dan maksud metefisika Aristoteles. Karena pengetahuan yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles, ia dijuluki Al-Mu’alim Ats-Tsani (guru kedua), sedangkan Al-Mu’alim Al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles.
Pada abad pertengahan, Al-Parbi sangat dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak mempelajari karangan-karangan/ risalah-risalah yang disalin kepada bahasa Ibrani.
Al-Parabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan dinasti Abasiyah di goncang oleh berbagai gejolak, pertentangan, dan pemberontakan. Al-Parabi lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-892) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti. Suatu periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Diperkirakan erat kaitannya dengan situasi politik yang demikian kiseruh, Al-Parabi menjdi gemar berhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal.[1]
2.      Karya-Karya Al-Farabi
Hasil karya Al-Farabi dapat diklasifikasikan kedalam logika dan non-logika. Dalam bidang logika, ia memeberikan kementar-komentar terhadap bagian dari organon-nya Aristoteles, menulis pengantar tentang logika, serta menulis tentang ringkasan logika. Sedangkan karya Al-Farabi yang non-logika adalah ilmu politik, etika, ilmu alam, psikologi, metafisika dan matematika. Dalam bidang politik Al-Farabi meringkas tulisan Plato yang bertitel The Laws; dalam bidang logika ia mengomentari Necomachean Ethics-nya Aristoteles; ilmu alam dengan mengomentari Physics, Meteorology de Caelo et de Mundo, dan on the Movement of the Heavenly Sphere-nya Aristoteles; dan dalam bidang psikologi, ia mengulas komentar Alexander aphrodisiac tentang jiwa (de anima). Selain itu, Al-Parabi juga memiliki tulisan-tulisan lain yang masih berkaitan tentang jiwa namun bersifat mandiri (bukan komentar atau ulasan karya orang lain), diantaranya tulisan Al-Parabi tentang jiwa (on the soul); tentang daya jiya (on the power of the soul); tentang kesatuan dan satu (unity on the one), dan tentang ‘aqlu dan ma’qul (the intelligence and intelligible). Dalam disiplin metafisika Al-Parabi menulis makalah tentang substansi (substance), waktu (time), ruang dan ukuran (space and measure), dan kekosongan (vacuum). Dalam bidang matematika, dia mengulas al-majasta-nya Ptolemy.
Karya Al-Parabi beredar di Timur dan di Barat, sebaginnya diterjemahkan kedalam bahasa Yunani dan Latin, dan bahkan kedalam bahasa Eropa modern, hingga mempengaruhi sarjana-sarjana Yahudi dan Kristen.[2]
Al-Parabi meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Tentang logika Al-Parabi mengatakan bahwa fisafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada kebenaran agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu, karena Al-Parabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatkan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para nabi. Karya Al-Parabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah, dan sebagian besar naskah-naskah ini belum ditemuka. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh Al-Parabi sangata berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasakan Plato dan Aristoteles.[3]
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibn Sina. Hal ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berupa rislah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang masih dibaca kurang lebih 30 judul saja. Diantara judul karyannya adalah sebagai berikut:
1)      Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimah Aflathun wa Aristhu;
2)      Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3)      Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4)      At-Ta’liqat;
5)      Risalah Fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
6)      Kitab Tashil As-Sa’adah;
7)      Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8)      ‘Uyun Al-Masa’il;
9)      Ara’ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10)  Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
11)  Muqalat fi Ma’ani Al-Alq;
12)  Fushul Al-Hukum;
13)  Risalat Al-Aql;
14)  As-Siyasah Al-Madaniyah;
15)  Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibiah Anha.
Dari kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis Al-Farabi, terlihat dengan jelas bahwa Al-Farabi adalah sosok filsuf, ilmuan, dan cendiawan kaliber dunia  yang ilmunya sangat luas dan dalam. Massignon, ahli ketimuran Francis mengatakan bahwa Al-Farabi adalah seorang filsuf islam pertama. Sebelum dia, Al-Kindi telah membuka pintu filsafat bagi dunia islam. Akan tetapi, Al-Kindi tidak menciptakan sistem filsafat tertentu dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah menciptakan suatu sitem filsafat yang lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus bagi dunia Barat.[4]
3.      Filsafat Al-Farabi 
Al-Farabi dalam karyanya Tashil As-Sa’adah menyebutkan, “untuk menjadi filsuf yang benar-benar sempurna, seseorang harus mempunyai ilmu-ilmu teoretis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemampaatan orang lain sesuai dengan kapasitas mereka” ( Al-Parabi [1981 b]:89;[1969a]: 43). Al-Farabi, mengikuti Plato, berpendirian bahwa setiap filsuf sejatinya dibebani tugas untuk mengomunikasikan filsafat mereka kepada orang lain, dan bahwa tugas ini sangat pening untuk memenuhi cita ideal filsafat.
Atas dasar itu Al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah” Al Ilmu Bil Maujudaat Bima Hiya Al-Maujudaat (ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada).” Untuk menerapkan filsafat, Al-Farabi menawarkan dua pola; konseptualisasi dan pembenaran. Selengkapnya pembahasan sebagai berikut:
“ teori demonstrasi Al-Farabi sendiri terpusat pada analisis terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi agar memperoleh ilmu atau pengetahuan (‘ilm =episteme dalam bahasa Yunani). Seperti pemikir muslim pengikut Aristoleles yang lain, Al-Farabi mendasarkan analisis ini pada dua perbedaan antara dua tindakan kognitif dasar, yakni konseptualisasi (tashawwur) dan pembenaran (tashdiq). Tindakan pertama bertujuan memahami konsep-konsep sederhana dan memungkinkan kita menyerap esensi objek yang kita pahamai itu ketika tindakan itu menjadi utuh atau sempurna. Tindakan kedua, yaitu pembenaran, terjadi atau muncul dalam pertimbangan dan penilaian benar atau salah, ketika tindakan itu utuh atau sempurna, ia memberikan pengatahuan yang pasti. Dua tindakan kognitif ini pada gilirannya diidentifikasi berturut-turut sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh definisi dan silogisme demonstratif, dua topik penting yang dibahas dalam Posterior Analytics-nya aristoteles sehingga analisis terhadap syarat-syarat bagi konseptualisasi dan konfirmasi yang sempurna menjadi kunci interpretasi Al-Farabi atas teori demontrasi aristoteles (kitab Al-Burhan, dalam Al-Farabi [1986-7], 4:19-22, 45)”.   
Meskipun demikian, filsafat Al-Farabi lebih cenderung kepada filsafat Plato daripada fisafat Aristoteles. Al-Farbi sependapat dengan Plato bahwa alam ini adalah “baru” dan terjadi dari tidak ada. Pendapat yang senada juga diungkapka oleh Al-Kindi (185-252 H/801-816 M).[5]
Kalau kita melihat terhadap perkembangan filsafat Al-Farabi, telah banyak filsuf Barat yang telah terpengaruhi oleh filosofinya, seperti Albert the Great dan Thomas Aquinas. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sering mengutip pemikiran Al-Farabi. Pemikiran falsafah Al-Farabi menjadi dasar pijakan bagi Ibnu Sina. Harmonisasi yang dilakukan Al-Farabi terhadap falsfahnya dan agama dapat diselesaikan dengan tepat, dan bahkan ditambah dengan unsur-unsur tasawuf falsafi yang dikembangkannya.
Secara garis besar, terdapat lima objek kajian filosofi Al-Farabi: pertama, masalah ontologi; kedua, maslah metafisika teologis; ketiga, masalah kosmologi yang berkenaan dengan teori emanasi; keempat, masalah jiwa rasional; kelima, maslah falsafah folitik.
a.       Masalah Ontologi
Maslah tertinggi dan universal yang menjadi pemikiran Al-Farabi ialah konsep tentang wujud (being), sesuatu yang ada namun sulit didefinisikan dengan tepat mengingat wujud sudah ada terlebih dahulu sebelum segala konsep tentang segalanya muncul. Mendefinisikan sebuah konsep berarti menganalisis apa yang dikandungnya. Wujud (beimg), merupakan sesuatu yang paling halus, sehingga ungkapan apapun tidak akan mampu mendefinisikan wujud. Al-Farabi mengemukakan enam wujud dasar yaitu sebab yang pertama, yang esa; kedua, akal-akal planet langit; ketiga, al fa’al; keempat, jiwa; kelima, bentuk; keenam, materi.
Dalam konsepsi Al-Faarabi, wujud dibedakan menjadi dua kategori; wajib dan mumkin. Wajib al-wujud adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang mesti ada, dan kita tidak dapat membayangkan ketiadaannya, misalnya Tuahan. Sedangkan mumkin al-wujud adalah wujud yang mengejawantah karena wujud lainnya. Ketidak adaannya dapat dimengerti oleh akal sehat, misalnya dunia kita.
Semua yang ada menurut Al-Farabi, terdiri atas potensial dan aktual. Semua wujud potensial memiliki kemungkinan untuk menjadi aktual, sebeb semua benda sebelum ia menjadi benda yang tampak aktual, ia bersifat mungkin karena masih berujud potensial. Hanya tuhan saja yang aktual.
Al-Farabi membagi wujud kedalam substansi dan aksigen, esensi dan eksistensi. Menurutnya, substansi adalah wujud yang ada pada dirinya sendiri, sedangkan aksigen selalu memerlukan substansi yang menjadi dasar dan tergantung bagi keberadaannya. Esensi (dzat) adalah inti dari keberadaan sesuatu, sedangkan eksistensi adalah aktualisasi dari esensi. Manusia adalah eksistensi, sedangkan jiwa (ruh) manusia adalah esensi atau dzatnya. Menurut Al-Farabi esensi dan eksistensi adalah dua hal yang berbeda. Sebab jika esensi dan eksitensi merupakan satu kesatuan makna kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang lain. Dalam hal ini hanya ada satu wujud yang esensi dan eksistensinya satu, yaitu Tuhan.[6]
b.      Metafisika Teologi
Pertanyaan pertama yang diajukan kepada Al-Farabi adalah, dapatkah tuhan diketahui?. Dalam salah satu karyanya Al-Farabi menjawab, Tuhan dapat diketahui dan tidak dapat diketahui, tuhan itu dhahir sekaligus batin. Pengetahuan terbaik mengaenai tuhan ialah memahami bahwa dia adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak dapat mengetahui tuhan sebab kapasitas intelektual yang dimiliki manusia, yang berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui-Nya, terbatas. Cahaya adalah media bagi mata manusia untuk mengetahui warna. Secara logis dapat disimpulkan bahwa cahaya yang sempurna akan menghasilkan pandangan yang juga sempurna. Tuhan tidak terbatas, sehingga mustahil yang tidak sempurna mencapai yang maha sempurna. Akan tetapi, hal itu bukan bahwa tuhan tidak dapat dikeahui sama sekali. Dalam hal ini Al-Farabi memberikan jalan keluar mngenai tuahn. Menurut Al-Farabi, melalui penalaran dan argument, serta kemampuan daya pikirnya, manusia dapat sampai pada pengetahauan tentang tuhan. Al-Farabi membuktikan eksistensi tuhan dengan mengajukan beberapa argument: pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang berada di alam semesta selalu bergerak, yang berujung pada satu hal yang mesti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak yang justru sebagai pengeraknya. Kedua penyebab effisien (efficiency causation). Demikia juga dengan adanya sebab yang beruntun yang berujung pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan. Ketiga, argumen mumkin al-wujud. Semua yang berada di dunia merupakan realitas yang mengandung kebolehjadian. Sedangkan wajib al-wujud adalah sesuatu yang realitas menjadi sebuah keharusan, dan bahkan ia menjadi sandaran dari segala yang ada. Itulah Tuhan. Al-Farabi memberikan sifat tuhan sama seperti filusuf teistik modern; dalam pengertian manusia dapat mengetahui tuhan melalui ciptaan-Nya.[7]
Al-Farabi menjelaskan metafisik (ketuhanan) menggunakan pemikiran Ariatoteles dan Neopltonisme. ia berpendapat bahwa Al-Maujud Al Awwal sebagai sebab sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pembuktian adanya tuahan, Al-Farabi menggunakan Dalil Al-Wajibul Wujud dan mumkinil Al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kmungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak diketahui oleh tiada. Jika wujud itu tidak ada, akan timbul kemustahilana karena wujud lain untuk adanya bergantung kpadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-wujud ialah sesuatu yang sama antara wujud dan tidaknya. munkinil al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adnya wujud yang sempurna, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi wajib al-wujud. Walaupun demikian, mustahil jadi daur dan taslsul (processus in infinitum) karena rentan itu akan berakhir pada wajib al-wujud.[8]
Penilaian De Boar ada benarnya ketika ketika mengatkan istilah Wajib Al-Wujud dan Mumkin Al-Wujud Al-Farabi hanya istilah lain dari Al-Qadim dan Al-Hadisth. Dengan kata lain Al-Farbi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
1)      Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekirannya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabi’atnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya itu menjadi wujud yang nyata karena matahari. Wujud yang mumkin itu menjadi bukti adanya sebab yang pertama, karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.
2)      Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya  itu sendiri menghendaki wujud-Nya yaitu wujud yang diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemusyrikan. Kalu itu tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.[9]
Pandangan Al-Farabi mengenai sifat tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah, yakni sifat tuhan tidak berbeda dengan subsatnsi-Nya.[10] Tentang ilmu Tuhan, Al-Farabi terpengaruhi oleh Arisoteles yang mengatakan bahwa tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyah (particular). Maksudnya, pengetahuan tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Tuhan sebagai ‘aql hanyan dapat menangkap yang kulli (universal), sedangkan untuk yang juz’i hanya dapat ditangkap oleh pancaindra. Oleh karena itu, pengetahuannya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan Ia sebagai yang juz’i.[11]
Pembucaraan mengenai metafisika berkisar pada masalah tuhan, wujud-wujudnya atau kehendaknya.
a.       Ilmu Ketuhanaan
Al-Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga yaitu:
Ø  Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagi wujud.
Ø  Membahas perinsip-perinsip burhan dalam teori-teori juz’iyat, yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya terhadap wujud-wujud tertentu. Seperti ilmu matiq (logika), matematika, atau ilmu juz’iyyat lainnya.
Ø  Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.
b.      Wujud
Al-Farabi membagi wujud menjadi dua bagian yaitu:
Ø  Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
Ø  Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-nya.
c.       Sifat-sifat tuhan
Tuhan adalah zat yang maha mengetahui tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Demikian pula Tuhan untuk dapat diketahui oleh zat-Nya sendiri, juga memerlukan sesutat yang mengetahui-Nya. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zat-Nya. Dengan demikian, ilmu dan zat yang yang mempumyai ilmu adalah satu. Atau ia adalah ilmu yang mengetahui dan yang menjadi objek ilmu-Nya.
Dari uraian diatas Al-Farabi berusaha menjelaskan ke-Esaan Tuhan dan ketunggalan-Nya dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain adalah sifat-sifat-Nya sendiri.[12]
c.       Kosmologi
Kebenaran Tuhan adalah suatu keniscayaan, dan keberadaan alam semesta juga merupaka kebenaran yang tidak dapat disangkal. Yang menjaadi pertanyaan ialah bagimana hubungan alam semesta dengan tuhan?. Dalam menjawab masalah ini, Al-Farabi mengedepankan teori emanasi. Sebenarnya teori Al-Farabi ini diadopsi dari teori filusuf Yunani terdahulu, terutama Neo-Platonisme, Plotinus, mengenai pelimpahan atau emanasi.
Dalam karyannya, kitab Ara Ahl Al-Madinah Al-Padhilah, Al-Farabi menjelaskan bahwa Tuhan adalah akal yang berfikir tentang diri-Nya, dari pikiran itu menimbulkan eksistensi atau wujud yang lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dari pemikiran itu menimbulkan wujud kedua yang juga memiliki substansi akal petama yang tidak bersifat materi. Wujud II/ akal I berfikitr tentang Tuhan sebagai wujud I dan pemikiran itu menimbulkan wujud tiga yang disebut akal II, dan seterusnya sampai munculah wujud XI dan akal X.
Menurut Al-Farabi, ketika proses pemikiran sampai pada wujud XI akal X, berakhirlah kemunculan akal-akal selanjutnya. Dari akal X itu kemudian timbul bumi, ruh-ruh, serta materi pertama yang menjadi dasar bagi kempat unsur api, udara, air dan tanah. Jadi terdapat sepuluh akal dan (sphere) yang tetap kekal berputar di sekitar bumi.[13]
d.      Psikologi
Jiwa manusia memancar dari akal x. pendapat Al-Farabi mengenai kapasitas jiwa sejalan dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa jiwa mempunyai daya-daya: pertama, daya gerak (al-muharrikah), yang meliputi makan, memelihara, dan daya berkembang. Kedua, daya mengetahui (al-mudrikah) yang meliputi dua daya lainnya, yaitu: daya merasa (al-hasanah) dan daya imajinasi (al-mutakhayyilah). Ketiga, daya berfikir (an-nathiqoh) yang meliputi akal praktis dan akal teoritis.
Dari ketiga daya tersebut, menurut Al-Farabi, hanya daya berfikir yang memiliki beberapa tingkatan, yakni: pertama akal potensial yaitu akal yang baru memiliki potensi berpikir dalam arti kemampuan melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. Kedua, akal aktual yang telah mampu melepaskan arti-arti dari materinya dan sudah mempunyai wujud yang sebenarnya, tidak lagi dalam bentuk potensial, akan tetapi telah merupakan aktual. Ketiga, akal perolehan, yaitu akal yang hanya dapat menangkap bentuk semata-mata. Perbedaan antara akal aktual dan akal perolehan adalah jika akal aktual hanya dapat menangkap bentuk semata-mata tanpa terikat materi, seperti akal x dan Tuhan.[14]
Konsep Al-Farabi mengenai akala x ini merupakan ramuan dari berbagai simber. Al-Farabi sendiri menegaskan teori akal yang dipakainya didasrkan pada Aristoteles, yaitu bagian ketiga dari anima Aristoteles. Sementara teori emanasi Al-Frabi dapat ditelusuri pada konsep Plotinus dan Madzhab Alexandria. Konsep jiwa dan akal-akal Al-Farabi erat kaitannya dengan konsep epistimologi. Pola dasar yang menjadi acuan konsep epitimologi Al-Farabi berujung pada penyatuan dua aliran falsafah. Al-Farabi berusaha menyatukan gagasan Aristoteles dengan Plato, seperti yang tersirat dalam jam’u baina ra’yu al-hakimain.
e.       Falsafah politik  
Al-Farabi berpendapat, bahwa ilmu plitik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur memelihara tindakan dengan cara yang baik.[15]
Dalam pemikiran politik, Al-Farabi telah menulis karya sendiri tentang kota utama (al-madinah al-padhilah). Kota digambarka sebagai sebuah badan manusia yang memiliki anggota dan fungsi masing-masing. Kepala memang posisi terpenting sebab bertugas mengatur masyarakatnya. Kepala adalah sumber pengaturan dan keharmonisan masyarakat. Kepala mesti bertubuh sehat, kuat dan pintar, cinta ilmu pengetahuan dan keadilan. Kepala harus mempunyai kemampuan akal ketiga, akal perolehan yang dapat berhubungan dan berkomunikahsi dengan akal sepuluh sebagai pengatur bumi. Sebaik-baik kepala ialah nabi atau rasul. Jika tidak ada yang memiliki sifat-sifat nabi atau rasul, Negara diserahkan kepada mereka yang memiliki sifat filsuf, yang mampu berbuat adil. Tugas lain dari kepala Negara adalah mendidik rakyatnya agar berakhlak mulia. [16]
f.        Tasawuf Al-Farabi
Kebahagiaan yang ditinjau oleh filsafat dan moral, deferifikasi oleh teori dan praktek serta diusahakan oleh manusia melalui studi dan tingkah lakunya, adalah kebaikan mutlak dan puncak segala puncak, batas akhir krtinggian manusia dan surga bagi orang-orang yang mencapainya. Al-Farobi mengatakan:
Kebahagiaan ialah jika jiwa manusia menjadi sempurna didalam wujud dimana ia tidak membutuhkan, dalm ekistensinya, kepada suatu materi. Hal itu dengan cara ia harus berada didalam globalitas esensi yang terpisah dengan materi, ia harus abadi dalam kondisi itu, hanya saja tingkatannya berbeda dibawah akal fa’al. Tetapi ia bisa mencapai hal itu melalui tindakan-tindakan kehendak yang terdiri atas tindakan pikir dan tindakan pisik. Ia tidak cocok dengan tindakan apapun, tetapi dengan tindakan tindakan terbatas dan tertentu yang bisa didapat melalui keadaan-keadaan tertentu yang benar-benar terbatas; hal itu dikarnakan diantara tindakan kehendak itu ada tindakan yang bisa menghambat kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kebahagiaan yang dicari karena dirinya sendiri, sama sekali ia tidak dicari kapanpun juga untuk di pergunakan untuk meraih sesuatu yang lain dan dibelakangnya tidak ada seseuatu yang lebih besar dari padanya yang mungkin dirasih oleh manusia.[17]


PENUTUP
Kesimpulan
Filsaat adalah salah satu ilmu yang terus dibicarakan dari zaman dahulu sampai zaman modern, sehingga filsafat tidak dapat dilepaskan dari kehidupan. Sehingga bermunculan para filusuf tidak terkecuali dari umat islam, salah satunya adalah al-farabi, beliau telah membuat berbagai karya diantaranya:
1)      Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimah Aflathun wa Aristhu;
2)      Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3)      Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4)      At-Ta’liqat;
5)      Risalah Fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
6)      Kitab Tashil As-Sa’adah;
7)      Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8)      ‘Uyun Al-Masa’il;
9)      Ara’ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10)  Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
11)  Muqalat fi Ma’ani Al-Alq;
12)  Fushul Al-Hukum;
13)  Risalat Al-Aql;
14)  As-Siyasah Al-Madaniyah;
15)  Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibiah Anha.
 Adapun corak dari filsafat al-farabi yang terkenal dan banyak dibicarakan adalah masalah ontology, metafisika teologi, kosmologi, fsikologi, dan Falsafah politik.


DAFTAR FUSTAKA
Hasyimsyah Nasution. Filsafat Islam. Jakarta. Gaya Media Pratama. 1999.
Heri Hermawan. Filsafat islam. Bandung. Cetakan pertama. CV Insan. 2011.
Juharya S. Praja. Pengantar Filsafat Isalam ”konsep filusuf dan ajarannya”. Bandung. CV Pustaka Setia. Cetakan pertama. 2009.
Amroeni Drajat. Suharwadi: kritik filsafat peripatetik. Yogyakarta. LKiS Pelangi Aksara. Ceetakan pertama. 2005.
M. Sholihin. Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam. Yogyakarta. PT Buku Kita. Cetakan pertama. 2008.
Ibrahim Madkour. Filsafat Islam, Metode dan Penerapan. Jakarta. PtrajaGrapindo Persada. Cetakan keempat. 1996.
H.A. Mustofa. Filsafat Islam. CV Pustaka Setia. Bandung. Cetakan keempat. 2009.



[1] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, Hal. 80-83
[2] Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik,Hlm.118-119
[3] Heri Hermawan. Yaya Sunarya, Filsafat Islam,Hlm.30-31
[4] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, Hlm.83-84
[5] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, Hlm.84
[6] Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik,Hlm.119-122
[7] Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik, hlm.123
[8] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 88
[9] Heris hermawan. Yaya sunarya, fisafat islam,Hlm.35
[10] Juhaya s. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm.88
[11] Ibid, hlm 89
[12] H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Hlm.136
[13] Amroeni Drajat, Suharwadi: Kritik Falsafah Peripotetik, hlm. 124-125
[14] Ibid, Hlm. 126
[15] H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Hlm.131
[16] Ibid, hlm. 127-128
[17] Ibrahim Madkour. Filsafat islam, hlm.32

No comments:

Post a Comment